Hari Pertama
Pada hari pertama, kami menghabiskan
waktu di dalam bus. Kami tidak mengunjungi objek wisata. Dari sekolah, kami
menuju Jalan Yusuf Adiwinata, Jalan M.H. Thamrin, dan Jalan Sudirman. Tugas
memandu orang pertama dilaksanakan mulai dari Jalan M.H. Thamrin. Di Jalan
Sudirman, terdapat patung pahlawan nasional Indonesia yang dikenal sebagai
panglima besar pertama Tentara Republik Indonesia, yaitu Jendral Sudirman. Dari
Jalan Sudirman, kami memasuki gerbang tol Semanggi menuju Jalan Tol Dalam Kota.
Terdapat jalan raya di bawah jalan tol ini, yaitu Jalan Gatot Subroto. Kami
melewati Patung Dirgantara, atau biasa lebih dikenal dengan nama Patung
Pancoran, yaitu patung yang dibangun pada masa pemerintahan Presiden Soekarno
untuk melambangkan keinginan bangsa Indonesia untuk menjelajahi angkasa. Dari
Jalan Tol Dalam Kota, kami memasuki Jalan Tol Jakarta-Cikampek yang melewati empat
daerah, yaitu Kota Jakarta, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Karawang.
Lalu dilanjutkan ke Jalan Tol Purbaleunyi yang melewati Kabupaten Purwakarta
dan Bandung Raya. Di Kabupaten Purwakarta, kami mengadakan perhentian di daerah
peristirahatan untuk sarapan di dalam bus. Selesai sarapan, kami melanjutkan
perjalanan. Setelah keluar dari Jalan Tol Purbaleunyi, kami melewati jalan
biasa untuk menuju Kabupaten Wonosobo. Kami melewati Nagreg yang masih terletak
di Kabupaten Bandung. Jalan di daerah Nagreg ini memang terkenal sangat
berkelok-kelok dan membuat beberapa teman saya mabuk. Bahkan teman saya yang
sedang memandu di daerah itu pun berkali-kali kehilangan keseimbangan dan
hampir terjatuh. Setelah itu, kami melewati Kabupaten Garut, yang penuh dengan
penjual-penjual dodol yang khas di pinggir jalan. Kabupaten berikutnya yang
kami lewati adalah Tasikmalaya, yang terkenal sebagai pusat kerajinan tangan.
Produk-produknya antara lain kerajinan sutra, payung kertas, dan tas anyaman. Setelah
itu, kami melewati Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar. Kota Banjar termasuk di
Provinsi Jawa Barat, tetapi berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah,
tepatnya Kabupaten Cilacap.
Di Kabupaten Cilacap, kami
mengadakan perhentian kembali untuk makan siang di restoran Pringsewu. Restoran
ini terletak di Jalan Raya Banjar Majenang Kilometer 10, Wanareja, Cilacap. Setelah
berdoa bersama, kami langsung diperbolehkan untuk mengantri mengambil makanan
yang ada. Ketika kami sudah selesai makan, tiba-tiba pelayan restoran datang
dan membawa beberapa gelas minuman. Lagu Selamat Ulang Tahun pun diputar di
restoran tersebut. Pelayan restoran tadi memanggil nama beberapa teman saya
yang tanggal ulang tahunnya dekat dengan 21 April. Ternyata, sebelum makan, tim
yang bertugas pada hari itu sudah menuliskan tanggal ulang tahun yang berdekatan sehingga dapat dirayakan. Perayaan
tidak berlangsung lama karena kami harus melanjutkan perjalanan.
Selanjutnya, kami melewati Kabupaten
Banyumas dan juga ibukotanya, yaitu Kota Purwokerto. Ketika kami melewati
daerah ini, langit sudah mulai gelap dan hari mulai malam. Tugas memandu pun
berakhir di kota ini. Kami beristirahat dan ada beberapa yang tertidur.
Perjalanan ke Wonosobo masih memakan waktu cukup lama. Setelah melewati
Kabupaten Purbalingga dan Kabupaten Banjarnegara, akhirnya kami sampai di
Kabupaten Wonosobo di mana tempat penginapan kami berada.
Kira-kira pukul 08.00 kami sampai di
tempat penginapan kami, yaitu Kledung Pass. Kledung Pass terletak di dekat
Dieng, tepatnya di Jalan Raya Wonosobo-Parakan Kilometer 17, Wonosobo. Seturunnya
dari bus, angin malam yang dingin sangat terasa. Kami langsung menuju ke
prasmanan untuk makan malam. Sehabis makan malam, kami mengambil kunci kamar,
mengambil koper dari bus, dan menuju kamar kami masing-masing. Kami diberi
waktu sebentar untuk membereskan barang dan mandi, kemudian kami diminta untuk berkumpul
di aula. Sebuah video singkat tentang Dieng ditayangkan di ruangan tersebut.
Lalu, kami menuju ke lantai bawah untuk berpesta api unggun. Kami pun disuguhi
cemilan dan wedang jahe untuk memperhangat suasana. Secara tidak sengaja, salah
satu teman saya menjatuhkan gelas saat mengambil wedang jahe. Gelas tersebut
pecah tetapi untungnya tidak ada yang terluka.
Hari Kedua
Pada hari kedua, kami diminta untuk bangun
pada pukul 03.00 karena akan melihat matahari terbit. Di depan tempat
penginapan, sudah ada beberapa minibus yang siap mengantar kami ke Dataran
Tinggi Dieng. Perjalanan ke tempat tujuan kami yang pertama memakan waktu
kurang lebih selama 1 jam. Dalam perjalanan, tercium bau-bau yang kurang sedap.
Bau tersebut adalah bau kotoran ayam yang digunakan untuk memupuk tanaman
kentang. Kami mengunjungi beberapa objek wisata.
A.
Gardu Pandang Tieng
Sesuai dengan namanya, gardu ini
terletak di daerah Tieng. Untuk menuju Dieng, wisatawan memang perlu melewati
daerah yang bernama Tieng ini. Ada alasan mengapa daerah ini dinamakan Tieng.
Kalau barang dari tempat tinggi jatuh, maka akan ada bunyi, “Dieng!” yang
cepat, sedangkan kalau barang dari tempat rendah jatuh, maka akan ada bunyi,
“Ti..eng” yang lambat. Tieng terletak di ketinggian 1800 meter di atas laut,
sedangkan Dieng di ketinggian 2000 meter di atas laut.
Kami sampai di Gardu Pandang Tieng
kira-kira pukul 05.00. Langit masih gelap. Di sana, kami menunggu matahari
terbit sambil diberi penjelasan tentang keunikan-keunikan Dieng oleh seorang
pemandu. Kira-kira pukul 05.30, matahari mulai muncul dari belakang bukit yang
berada di sebelah kiri. Lama-kelamaan, matahari tersebut meninggi dan bergerak
ke tengah. Sinarnya berwarna merah keemasan. Itulah alasan mengapa matahari
terbit ini disebut sebagai “Golden Sunrise”. Kami berfoto bersama dengan latar
matahari yang indah tersebut.
Sebetulnya, Golden Sunrise juga
dapat dilihat dari puncak Bukit Sikunir, tetapi untuk mencapai puncak bukit ini
memerlukan perjuangan lebih karena jalan yang harus dilalui sempit dan banyak
bebatuan. Untuk melihat Golden Sunrise di Bukit Sikunir juga harus bangun lebih
pagi atau waktunya tidak akan cukup untuk mendaki.
B.
Dataran Tinggi Dieng
Kami melanjutkan perjalanan dengan minibus
untuk menuju ke Dataran Tinggi Dieng. Kami berhenti di depan tempat pembelian
oleh-oleh. Tempat tersebut menyediakan kripik kentang, manisan carica, minuman purwaceng,
dan berbagai macam oleh-oleh khas Dieng yang lain.
Kentang, carica, dan purwaceng
memang merupakan tanaman-tanaman yang lumayan banyak dikembangkan di Dieng. Cara
panen kentang Dieng cukup unik. Karena kentang-kentang tersebut ditanam di lereng
yang cukup tinggi, maka dibuatlah alat pengangkut khusus kentang tersebut. Alat
tersebut berbentuk seperti permainan flying fox yang biasa ditemukan di arena
outbound. Alat tersebut tidak menggunakan tali, tetapi menggunakan kabel
listrik. Carica adalah tanaman sejenis pepaya, tetapi bentuknya lebih kecil
dari pepaya pada umumnya. Rasa asli dari buahnya adalah masam, tetapi diolah
menjadi manisan yang menyegarkan oleh warga Dieng. Purwaceng, atau juga dikenal
sebagai ginseng Dieng, adalah tanaman herbal khas Dieng. Purwaceng ini dikenal
sebagai tanaman yang dapat menghangatkan dan membangkitkan stamina tubuh,
biasanya diolah dalam bentuk minuman atau bubuk. Tetapi, Purwaceng mentah juga
dapat dimakan sebagai lalap. Katanya, tanaman ini juga dapat ditemukan di Pegunungan
Alpen.
C.
Kompleks Percandian Arjuna
Dari tempat pembelian oleh-oleh,
kami berjalan kaki menuju Kompleks Percandian Arjuna.Untuk menuju kompleks percandian
ini, kami melewati jalan yang tidak terlalu lebar dan dipenuhi oleh pepohonan
besar. Banyak jaring laba-laba yang menempel di pohon-pohon tersebut, bahkan
ada jaring laba-laba yang menghubungkan satu pohon dengan pohon lain yang
terletak di seberangnya. Tidak sampai 30 menit berjalan, kami pun sampai di
kompleks percandian tersebut.
Kompleks percandian ini terletak di
rerumputan yang luas dan merupakan salah satu dari tiga kompleks percandian di
Dieng. Kompleks ini dipercaya sebagai percandian Hindu tertua di Pulau Jawa.
Terdapat lima candi di kompleks ini. Tidak diketahui nama asli dari candi-candi
tersebut, karena sudah dibangun sejak abad 9 Masehi. Nama-nama dari cerita
pewayangan Mahabharata diberikan ke lima candi tersebut, yaitu Arjuna sebagai
candi utama, Semar, Srikandi, Puntadewa, dan Sembrada. Candi-candi ini dibangun
untuk memuja salah satu dari Trimurti, yaitu dewa penghancur, Dewa Siwa. Hanya
Candi Semar yang mempunyai fungsi berbeda, yaitu untuk menyimpan
artefak-artefak keagamaan. Memang, Candi Semar dibangun menghadap arah yang
berbeda dengan empat candi yang lain.
Di kompleks ini juga, wisatawan
dapat melihat Silver Sunrise. Silver Sunrise adalah kelanjutan dari Golden
Sunrise. Orang-orang berkata kalau matahari di Dieng terbit dua kali, padahal
sebenarnya matahari yang sudah terbit tadi tertutup oleh Gunung Sindoro dan
setelah beberapa saat akan keluar lagi dari balik gunung tersebut. Silver
Sunrise ini tidak kalah indah dengan Golden Sunrise. Matahari memancarkan
sinarnya yang berwarna putih keperakan.
Selain itu, Kompleks Percandian
Arjuna juga merupakan tempat yang biasa digunakan untuk mengadakan ruwatan anak
gimbal. Ruwatan anak gimbal adalah upacara pemotongan rambut anak gimbal. Anak
gimbal merupakan salah satu fenomena mistis di Dataran Tinggi Dieng. Anak-anak
tersebut dilahirkan normal, tetapi dalam suatu fase tertentu, anak-anak
tersebut akan mengalami demam yang sangat tinggi dan tidak dapat diobati.
Ketika demam tersebut sembuh dengan sendirinya, maka rambut anak-anak tersebut
akan berubah menjadi gimbal. Anak gimbal dipercaya membawa keberuntungan bagi
keluarganya. Rambut anak gimbal sudah harus dipotong sebelum anak tersebut
berubah menjadi remaja. Anak gimbal itu sendiri yang akan menentukan waktunya,
dan sebelum dipotong, ia akan meminta sebuah atau beberapa permintaan dan
permintaan tersebut harus dipenuhi. Kalau tidak dipenuhi, maka akan membawa
malapetaka bagi keluarganya dan setelah dipotong, rambut anak tersebut akan
gimbal kembali. Tetapi jika permintaannya dipenuhi, setelah dipotong, rambut
anak tersebut akan tumbuh lurus dan normal.
Selesai berfoto dan mengelilingi
Kompleks Percandian Arjuna, kami pun berjalan keluar dan dipertemukan dengan
seorang anak gimbal. Anak gimbal itu bernama Selfi dan tidak bisa berbahasa
Indonesia. Untuk berbicara dengannya, kami meminta pemandu kami untuk menerjemahkan
ke Bahasa Jawa. Poninya lurus seperti rambut biasa, tetapi rambut bagian
belakangnya terlihat menempel membentuk ikatan-ikatan. Katanya, biasanya anak
gimbal tidak mau menemui orang-orang yang memiliki pikiran jahat. Anak gimbal
tersebut dapat merasakan aura negatif dari manusia. Usai mengobrol dengan
Selfi, kami pun sarapan.
D.
Kawah Sikidang
Sehabis sarapan, kami menuju ke minibus
kami masing-masing untuk melanjutkan perjalanan ke Kawah Sikidang. Perjalanan
tersebut tidak memakan waktu lama.
Sesampainya di Kawah Sikidang,
terdapat banyak penjual masker. Hal ini karena bau belerang di Kawah Sikidang
cukup tajam, tetapi masih aman jika dihirup tidak terlalu lama. Kawah Sikidang
merupakan satu-satunya kawah di Dieng yang masih aman untuk dikunjungi.
Kawah-kawah yang lain mengeluarkan gas beracun.
Nama Sikidang berarti kijang. Kawah
ini dinamakan Sikidang karena sering berpindah-pindah tempat seperti lompatan
kijang. Sebenarnya kawah ini bukan berpindah, tetapi membentuk kawah-kawah
kecil di sekitarnya, sehingga wisatawan harus berhati-hati ketika berjalan menuju
kawah utama. Panas dari lumpurnya dapat mencapai 90 derajat Celsius. Walaupun
baunya tajam, uap di kawah ini dipercaya dapat memuluskan kulit.
Selain itu, kawah ini juga memiliki manfaat
lain, yaitu untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi atau PLTPB. Uap dari
kawah ini disalurkan melalui pipa-pipa ke tabung besar. Di tabung tersebut, akan
dipisahkan uap dan air. Lalu, uap tersebut akan disalurkan ke pembangkit
listrik dan listrik akan disebarkan di rumah-rumah warga di Dieng.
E. Telaga Warna
Puas melihat-lihat Kawah Sikidang,
kami melanjutkan perjalanan ke kawasan Telaga Warna dengan menggunakan minibus.
Jarak antara Kawah Sikidang dan Telaga Warna cukup dekat. Kawasan Telaga Warna
juga cukup luas.
Telaga ini disebut Telaga Warna
karena memiliki warna yang berbeda-beda, seperti biru, hijau, ungu, coklat,
kuning, dan bahkan warna pelangi, tergantung dari pantulan cahaya matahari dan
dari arah mana telaga ini dilihat. Air di telaga ini mengandung belerang,
sehingga tidak ada kehidupan di dalamnya. Juga tidak tersedia wisata air,
karena konon walaupun telaga ini terlihat tenang, ada pusaran yang sangat besar
di tengahnya. Dahulu, sempat ada orang Belanda yang mencoba naik perahu, tetapi ketika sampai di tengah perahunya tidak dapat
bergerak ke mana-mana dan ia hampir tenggelam. Untungnya, ia dapat diselamatkan
dengan bantuan tambang.
Di sebelah Telaga Warna, terdapat
Telaga Pengilon. Pengilon berarti kaca. Katanya, dahulu jika orang berkaca di
telaga ini dan wajahnya tercermin di air, maka orang tersebut adalah orang
baik, tetapi jika tidak tercermin, maka orang tersebut adalah orang jahat.
Tetapi, sekarang air di Telaga Pengilon sudah tidak sejernih dahulu sehingga
tidak dapat dipakai untuk berkaca.
Di sekitar kawasan ini, juga
terdapat tiga buah gua yang dapat digunakan sebagai tempat bermeditasi. Gua
yang pertama adalah Gua Sumur. Raja-raja dari Kerajaan Jawa, Presiden Soekarno,
dan Presiden Soeharto pernah bertapa di gua ini sebelum mereka berkuasa. Untuk
memasuki gua ini, diperlukan izin dan bimbingan dari juru kunci, sehingga tidak
dapat dimasuki wisatawan biasa. Gua yang kedua adalah Gua Pengantin. Orang yang
bermeditasi di dalam gua ini dipercaya akan mendapatkan jodoh. Di dalam gua ini
juga terdapat air yang menetes dari puncak gua. Tetesan air tersebut dipercaya
membawa keberuntungan. Cara meminumnya adalah dengan menjulurkan lidah dan
menunggu tetesan air itu jatuh. Air tersebut tidak boleh disentuh oleh tangan. Teman-teman
saya yang penasaran pun mencoba merasakan tetesan air tersebut. Karena ramai,
saya tidak ikut mencobanya. Gua yang ketiga adalah Gua Jaran atau Gua Kuda.
Wanita yang sulit mendapatkan anak, jika bermeditasi di gua ini dipercaya akan
mudah mendapat keturunan.
Setelah mengunjungi Telaga Warna,
kunjungan kami ke Dieng pun berakhir dan kami kembali ke tempat penginapan.
Perjalanan kembali memakan waktu lebih lama daripada saat berangkat karena
terjadi kemacetan. Karena lelah sudah beraktivitas sejak subuh, kami tertidur
di dalam minibus.
F. Candi Borobudur
Di penginapan, kami makan siang,
mandi, dan mengepak barang kami. Tiba-tiba turunlah hujan dan kami buru-buru
memindahkan barang-barang kami ke dalam bus. Kami melanjutkan perjalanan kami
ke Borobudur. Setelah melewati Kabupaten Temanggung, akhirnya kami sampai di
Kabupaten Magelang. Perjalanan dari Dieng ke Borobudur kira-kira memakan waktu
2 jam.
Ketika sampai di Borobudur, hujan
belum berhenti. Kami turun dari bus dengan membawa payung dan jaket. Ada tiga
siswa yang diminta untuk bertugas di sini. Tugasnya adalah menerjemahkan apa
yang dikatakan oleh pemandu lokal yang menemani kami. Dari tempat parkir, kami
berjalan sekitar sepuluh menit menuju Candi Borobudur.
Di depan candi, ada sebuah tanda
penghargaan untuk Borobudur dari UNESCO. Sedikit berjalan ke depan, kami sampai
di barisan tangga yang digunakan untuk mencapai Candi Borobudur. Candi
Borobudur dibangun pada abad ke-9 di bawah pemerintahan Dinasti Syailendra. Candi
ini memiliki 2.672 papan relief dan 504 patung Buddha.
Candi Borobudur terdiri dari tiga bagian,
yaitu Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu. Kamadhatu merupakan bagian yang
paling rendah dan melambangkan alam di mana manusia masih terikat pada nafsunya.
Kamadhatu berhiaskan relief Karmawibangga, yang menceritakan tentang perbuatan-perbuatan
yang dilakukan manusia serta hukuman-hukumannya. Tetapi, relief Karmawibangga
ini sebagian besarnya sudah ditutup oleh bagian tambahan candi, sehingga hanya
satu bagian kecil yang dapat dilihat wisatawan. Rupadhatu adalah bagian tengah
yang melambangkan alam di mana manusia sudah tidak terikat pada nafsunya,
tetapi masih terikat dengan nama dan wujud. Salah satu relief yang ada di
Rupadhatu menceritakan kisah dari Lalitawistara. Lalitawistara adalah cerita
mengenai Pangeran Siddharta sejak lahir sampai ia menerima bodhi dan menjadi Buddha.
Relief lain di Rupadhatu mengambil kisah dari kitab Jataka, yang menceritakan
cerita-cerita tentang Buddha di kehidupan sebelumnya, baik dalam bentuk manusia
maupun binatang, sebelum ia dilahirkan menjadi Pangeran Siddharta. Terdapat 432
patung di bagian Rupadhatu. Bagian tertinggi dari candi ini adalah Arupadhatu.
Arupadhatu melambangkan alam di mana sudah tidak ada nama dan wujud, tetapi
manusia masih belum mencapai nirwana. Di bagian ini tidak terdapat relief,
tetapi ada tiga serambi yang melingkar mengelilingi sebuah stupa besar. Ada
sekitar 72 stupa kecil yang mengelilingi stupa besar tersebut.
Ada sebuah mitos yang sangat
terkenal di candi ini, yaitu Kunto Bimo. Menurut mitos tersebut, jika seorang
laki-laki berhasil menyentuh jari manis arca yang ada di dalam stupa atau
seorang perempuan berhasil menyentuh tumit kaki arca yang ada di dalam stupa, maka
permintaannya akan terkabul. Tetapi, sekarang hanya satu arca yang
diperbolehkan untuk disentuh karena jika arca-arca yang lain juga disentuh,
maka akan cepat rusak.
Sekitar pukul 18.00, candi ini ditutup
sehingga kami meninggalkan lokasi dan kembali ke bus. Kami melanjutkan
perjalanan kami ke tempat di mana kami akan live in, yaitu Desa Brayut.
G. Desa Brayut
Desa Brayut adalah sebuah desa
wisata yang terletak di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa ini tidak
terlalu kuno karena sudah tersedia fasilitas seperti listrik, tetapi
bentuk-bentuk rumahnya masih banyak yang tradisional. Warga di desa ini bekerja
di bidang pertanian dan peternakan.
Jalan menuju Desa Brayut cukup
sempit sehingga bus kami diparkir di depan sekolah yang ada di depan jalan
raya. Sambil menyeret koper, kami berjalan sedikit untuk memasuki desa ini.
Kebetulan ketika kami sampai, Desa Brayut sedang mengalami kematian listrik dan
langit sangat gelap sehingga kami harus menyalakan lampu senter. Karena tidak
dapat melihat apa-apa di sekeliling, saya merasa kalau jalan ke pendopo utama
sangat jauh, tetapi sebenarnya jaraknya cukup dekat. Di pendopo utama, kami
diminta untuk duduk. Dengan penerangan yang sangat kurang, guru-guru pembimbing
dan para wakil desa memberikan penjelasan singkat tentang apa yang harus kami
lakukan di sini. Kegiatan yang dijadwalkan hari itu pun diundur karena situasi yang
kurang mendukung.
Tiba-tiba, salah satu guru mata
pelajaran Pemanduan Wisata, Bapak Richard, berkata kalau ada seorang anak yang
ingin protes ke salah satu guru pembimbing kami, yaitu Ibu Yachinta. Anak itu
diminta untuk masuk ke dalam pendopo, dan bukannya protes, ternyata ia membawa
sebuah kelapa muda yang ditancap lilin. Nyanyian “Selamat Ulang Tahun” langsung
memenuhi ruangan tersebut. Ibu Yachinta yang sedang berulang tahun itu langsung
kaget dan tidak bisa berkata apa-apa. Ketika mulai berbicara, ia menangis
terharu. Ia berkata bahwa ulang tahun kali ini adalah ulang tahunnya yang
paling berkesan, karena dirayakan di dalam keadaan gelap bersama dengan seluruh
siswa yang ada.
Selesai merayakan ulang tahun, kami diminta
berkumpul bersama kelompok live in kami masing-masing. Kelompok saya terdiri
dari empat orang. Kami diantar oleh seorang perwakilan dari desa. Jalan menuju
rumah tempat kami live in cukup jauh dibanding dengan rumah kelompok lain. Setelah
beberapa menit, akhirnya kami sampai di rumah tujuan kami, yaitu rumah Ibu
Daru. Ibu Daru dan anaknya menyapa kami dengan ramah. Di rumah itu pun, ada
cucu laki-laki Ibu Daru yang masih kecil. Karena listrik masih belum juga
menyala, kami memutuskan untuk tidak mandi pada malam itu. Kami diberi makan
malam dan disuguhi teh manis. Setelah itu, kami beristirahat.
Hari Ketiga
Setelah bangun pagi, mandi, dan
sarapan, kami pamit pada Ibu Daru dan keluarganya. Kami berempat pergi ke rumah
yang terletak tepat di samping rumah Ibu Daru, yang juga ditempati oleh
teman-teman kami dari kelompok lain. Kami mengobrol lalu pergi ke pendopo utama
bersama-sama.
Kegiatan pertama kami pada hari itu
adalah jalan desa. Dengan Bapak Darmadi sebagai pemandu kami, kami mengelilingi
Desa Brayut sambil mempelajari sejarah dan budayanya. Dalam perjalanan,
tiba-tiba terjadi ledakan pada salah satu tiang listrik. Kami langsung kaget
dan menghindar. Ledakan tersebut mengakibatkan kematian listrik untuk kedua
kalinya. Untungnya tidak ada yang terluka. Kemudian, kami melanjutkan
perjalanan.
Nama Brayut ternyata diambil dari
nama pendiri desa ini. Asal mula desa ini hanyalah dari sebuah gubuk kecil.
Kemudian, Kakek Brayut mengajak orang-orang untuk tinggal di daerah ini. Kakek
Brayut dimakamkan tepat di samping gubuknya itu. Pada masa penjajahan, Desa
Brayut adalah markas tentara. Desa ini
sempat dikepung oleh penjajah Belanda. Kemudian, seorang sakti dari Desa
Brayut, Bapak Kerto Byogo menyerahkan diri ke penjajah Belanda untuk
menyelamatkan warga desa ini. Karena sakti, ia tidak mati ketika ditembaki
peluru oleh penjajah Belanda. Akhirnya, ia meninggal dengan dikubur
hidup-hidup. Ia memiliki sebuah rumah joglo di desa ini, yang masih ditinggali
oleh keturunannya. Selain itu, juga ada beberapa pejuang lain yang dimakamkan
di desa ini. Makam-makam tersebut ditancapkan bendera merah putih.
Kami juga ditunjukan mesin
penggilingan padi oleh Pak Darmadi. Padi-padi yang sudah dipanen digiling dalam
mesin tersebut sehingga menjadi gabah. Gabah-gabah
tersebut kemudian dijemur di depan halaman rumah penduduk. Desa ini memiliki
sebuah peternakan, tetapi kami tidak mengunjungi peternakan tersebut. Selain
itu, terdapat sebuah tempat khusus untuk membeli oleh-oleh di desa ini, yaitu
di Ani-ani. Barang-barang yang terdapat di Ani-ani ada yang sama dengan
barang-barang di Malioboro tetapi dijual dengan harga yang lebih murah.
Puas mengelilingi desa, kami diajak
Bapak Darmadi kembali ke pendopo utama. Di sana, kami diberi kebebasan untuk
mencoba bermacam-macam permainan tradisional. Karena lelah, saya tidak ikut
bermain dan hanya melihat teman-teman saya bermain. Permainan pertama yang disediakan
alatnya adalah bakiak. Ada sekitar lima pasang sandal bakiak yang disediakan
dan satu pasangnya diisi oleh tiga orang. Meskipun hari itu sangat panas, mereka
tetap berlomba dengan penuh semangat. Permainan ini benar-benar melatih
kekompakan. Karena kurang kompak, ada beberapa orang yang lecet bagian
tubuhnya.
Permainan kedua adalah enggrang. Alat
yang disediakan ada cukup banyak, sehingga banyak yang ikut mencobanya. Meskipun
terlihat mudah, tetapi ternyata sangat sulit untuk menguasai permainan ini. Orang
yang memainkan enggrang memerlukan keseimbangan. Kebanyakan yang mencoba
permainan ini tidak dapat berjalan sendiri, sehingga harus dipegangi oleh teman
yang lain. Meskipun sudah dipegangi, tetap sulit untuk bermain permainan ini. Ada
juga teman-teman yang bermain congklak di dalam pendopo utama. Karena biji
congklaknya kurang, maka satu kolom tidak dapat diisi tujuh biji. Walaupun
sederhana, menonton permainan congklak ini sangat membuat penonton seru.
Setelah bermain, kami melakukan
kegiatan kami selanjutnya, yaitu membatik. Kami diminta untuk duduk
berkelompok. Satu kelompok diberi kompor untuk melelehkan malam. Kami
masing-masing juga diberikan canting dan kain yang sudah digambar pola bunga. Kami
hanya perlu melapisi pola tersebut dengan malam. Kain tersebut seharusnya
diletakkan di tangan kiri, tetapi karena malamnya sangat panas, banyak yang meletakkan
kain tersebut di atas kursi. Jadi, kami beramai-ramai duduk di lantai. Untuk
mengambil malam, canting dimiringkan sedikit dan tidak perlu diisi sampai
penuh, cukup setengahnya saja. Setelah itu, tinggal perlu menggoreskan canting
pada pola kain. Terdengar mudah, tetapi sebenarnya membatik benar-benar perlu
kesabaran. Walaupun cantingnya belum menyentuh kain, terkadang jatuh tetesan
malam. Canting yang saya dapat juga kurang baik, karena ketika menyentuh kain
sedikit saja, semua malam yang ada di canting keluar dan melebar. Saya pun
meminta canting yang lain kepada fasilitatornya.
Ada beberapa teman saya yang terkena
tumpahan malam. Bagian yang terkena malam diolesi minyak tanah sehingga
malamnya lepas. Akhirnya setelah sekitar dua jam, kegiatan membatik pun
selesai. Kami kembali ke rumah live in kami masing-masing dan makan siang.
Selesai makan siang, kami melanjutkan
kegiatan kami dengan menjanur. Menjanur adalah membuat kerajinan tangan dengan
bahan janur, yaitu daun kelapa yang masih muda. Ada beberapa pembina dalam
kegiatan ini. Pembina-pembina tersebut mengajarkan hal-hal yang berbeda. Ada
yang membuat keris, belalang, ketupat, bola, dan pecut. Kami dibebaskan untuk
memilih pembina yang kami inginkan. Saya mengikuti Bapak Darmadi yang
mengajarkan cara membuat bola dan ketupat.
Untuk membuat bola memerlukan dua
helai janur. Masing-masing batang daunnya dibuang sehingga ada empat bagian. Empat
bagian tersebut diikat menjadi satu pada bagian ujung bawah. Lalu, janur yang
telah diikat dibuat anyaman. Cara untuk menganyamnya cukup rumit bagi saya,
sehingga saya tidak sempat untuk mencoba membuat kerajinan janur yang berbentuk
lain. Setelah mengajarkan cara membuat bola, Bapak Darmadi mengajarkan cara
membuat ketupat tetapi saya hanya melihatnya. Kami semua terkagum karena Bapak
Darmadi dapat membuat ketupat dalam waktu yang sangat singkat, hanya satu
menit. Membuat ketupat ternyata jauh lebih rumit lagi dibandingkan dengan
membuat bola. Teman-teman saya yang mengikuti Bapak Darmadi pun kewalahan dan
banyak yang tidak dapat menyelesaikan ketupatnya.
Sementara mereka sibuk membuat
ketupat, teman-teman yang lain bermain gobak sodor di lapangan pendopo. Mereka
bermain dengan penuh semangat dan terdengar sangat seru. Saya tidak ikut
bermain. Saya bermain congklak di dalam pendopo bersama dengan teman saya. Sekitar
pukul 17.00, kami kembali ke rumah live in kami masing-masing untuk mandi dan
beristirahat sejenak.
Kami kembali ke pendopo utama untuk
melakukan kegiatan kenduri. Kenduri berarti berkumpul dan menikmati apa yang
ada. Kenduri ini adalah acara makan malam bersama khas Jawa. Selesai berdoa
bersama, kami satu per satu mengambil makanan kami masing-masing. Makanan yang
disediakan cukup bervariasi, mulai dari nasi tumpeng, ayam goreng, kentang
balado, rempeyek, dan lain-lain. Makanan-makanan tersebut memiliki makna
masing-masing. Bermacam-macam jenis makanan yang mengelilingi nasi tumpeng
melambangkan manusia yang berbeda-beda. Ada palang pada nasi tumpeng yang
melambangkan bahwa tujuan semua manusia yang berbeda-beda itu satu, yaitu
Tuhan. Selain itu, ayam yang disediakan juga terdiri dari ayam jantan dan
betina, yang berarti manusia diciptakan laki-laki dan perempuan, bukan yang
lain.
Setelah kegiatan kenduri berakhir,
kami kedatangan seorang guru tari. Kami dibagikan selendang untuk diikat pada
perut kami. Guru tari itu mengajarkan kami empat tarian, mulai dari tarian yang
gerakannya lambat sampai yang cepat. Tarian-tarian tersebut berasal dari Jawa. Sebelum
mulai mengajarkan tarian, kami diajari gerakan-gerakan dasar yang ada di tarian
Jawa. Karena keterbatasan waktu, guru tari tersebut mengajar kami dengan cepat.
Meskipun gerakannya sulit, kami tetap mengikutinya dengan senang hati.
Selesai menari, kami pun menuju
suatu ruangan yang terletak di belakang pendopo utama untuk belajar karawitan.
Karawitan adalah kesenian bermain gamelan. Karawitan ini dibagi menjadi dua
sesi karena keterbatasan alat. Hanya setengah kelas yang dapat bermain dalam
satu sesi. Karena alat-alat musik yang lain sudah terambil teman-teman saya,
maka saya bermain gong. Pertama, saya bingung karena bapak pembinanya tidak
memberi tahu cara memainkannya. Di not lagunya juga tidak tertera keterangan
nada apa yang harus dimainkan pada gong. Setelah beberapa lama, akhirnya
pembina tersebut memberi tahu saya bagaimana caranya. Kami memainkan sekitar
tiga lagu yang sederhana. Hanya dua nada gong yang perlu dipukul dan dibunyikannya
hanya pada akhir dari setiap baris.
Sesi kami pun berakhir. Saya
menunggu teman saya yang bermain di sesi berikutnya karena hari itu sudah
sangat malam dan lebih baik jika kembali ke rumah live in dengan bersama-sama. Sementara
saya menunggu teman saya, teman-teman yang lain diantar pergi ke Ani-ani oleh salah
satu pembina dari desa. Ternyata berjalan di Desa Brayut pada malam hari tidak
terlalu gelap. Lampu jalan dan lampu rumah warga menerangi jalan.
Hari Keempat
Pada
hari keempat, kami bangun sangat pagi karena harus mengikuti kegiatan senam
pagi di lapangan pendopo utama. Kedua bapak instruktur mengajak kami senam
dengan semangat. Gerakan-gerakan yang diajarkan mudah diikuti. Orang-orang yang
tadinya mengantuk menjadi segar.
Selesai senam pagi, kedua bapak
instruktur kembali mengajak kami untuk bergerak, tetapi dengan lagu-lagu yang
sudah dikenal. Kami melakukan senam poco-poco. Karena poco-poco gerakannya
berulang-ulang, lama-kelamaan kami bosan dan meminta lagu yang lain. Kami pun
diajarkan goyang oplosan oleh bapak-bapak instruktur tadi. Para peserta senam
kembali bersemangat.
Setelah itu, kami segera kembali ke
rumah live in kami untuk mandi, sarapan, dan berkemas. Kami pamit pada Ibu Daru
dan keluarganya, lalu segera menuju ke pendopo utama. Di pendopo utama,
perwakilan dari Desa Brayut dan sekolah kami saling mengucapkan kata-kata
penutup. Kami pun berpamitan pada Bapak Darmadi dan pembina yang lain. Kami
naik ke bus untuk melanjutkan perjalanan ke Kota Yogyakarta. Perjalanan memakan
waktu sekitar 30 menit. Dalam perjalanan, kami melewati sebuah tugu yang sangat
terkenal, yaitu Tugu Yogyakarta. Tugu tersebut membuat sebuah garis imajiner
yang menghubungkan Gunung Merapi, Keraton Yogyakarta, dan Pantai Selatan. Tugu
tersebut merupakan titik nol dari Kota Yogyakarta dan sering dipakai sebagai
objek berfoto bagi para turis.
A.
Kraton Yogyakarta
Objek pertama yang kami kunjungi di
kota ini adalah Kraton Yogyakarta. Kami dipandu oleh seorang abdi dalem. Abdi
dalem adalah sebutan untuk orang yang mengabdikan dirinya kepada sultan dan
kraton. Kraton ini masih ditinggali oleh penguasa Daerah Istimewa Yogyakarta
sekarang, Sultan Hamengku Buwono X, dan keluarganya. Kraton ini dibangun pada
tahun 1756 oleh Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan Hamengku Buwono I. Kraton
ini terletak di antara dua kekuatan alam, yaitu Gunung Merapi dan Pantai
Selatan. Konsep tersebut dinamakan Manunggaling Kawulo Gusti, yang artinya
persatuan antara Tuhan dan umatnya. Luas dari kraton ini adalah 14.000 m2.
Di dalamnya terdapat banyak bangunan-bangunan, halaman-halaman, dan
lapangan-lapangan. Kraton ini menyimpan berbagai macam koleksi sultan-sultan
sebelumnya seperti lukisan, pakaian, peralatan sehari-hari, gamelan, dan
benda-benda sakti.
Kraton ini dibagi menjadi tujuh daerah.
Daerah pertama adalah alun-alun utara yang digunakan sebagai tempat berlatih
tentara dan siti hinggil utara yang digunakan sebagai tempat untuk memahkotai
sultan baru. Daerah kedua adalah kemandhungan utara yang digunakan sebagai
tempat berkumpul tentara. Daerah ketiga adalah halaman srimanganti yang dahulu
digunakan sebagai ruang tamu, tetapi sekarang digunakan untuk menampilkan
wayang orang, wayang kulit, dan wayang golek. Daerah keempat adalah kedhaton
yang digunakan sebagai tempat di mana sultan dan keluarganya tinggal. Daerah
kelima adalah kemegangan sebagai dapur kraton. Daerah keenam adalah
kemandhungan selatan sebagai tempat berlatih memanah. Daerah terakhir adalah
alun-alun selatan dan sasono hinggil. Alun-alun selatan digunakan sebagai
tempat berkumpulnya tentara, sedangkan sasono hinggil diguanakan sebagai tempat
untuk menampilkan wayang.
Salah satu budaya yang dilaksanakan
oleh penghuni kraton adalah Upacara Labuhan. Upacara ini dilaksanakan di Gunung
Merapi yang dipercaya sebagai kraton makhluk halus dan Laut Selatan yang
dipercaya sebagai kraton Nyi Roro Kidul. Upacara ini merupakan upacara
persembahan yang dilaksanakan di tempat yang memiliki hubungan erat dengan
leluhur sultan. Upacara ini hanya bisa dilaksanakan atas nama sultan dan hanya
pada peristiwa-peristiwa penting, seperti saat memahkotai sultan baru atau
memenuhi niat-niat tertentu dari sultan.
Pada siang hari, kraton ditutup
untuk pengunjung karena akan ada proses pembersihan kraton dari roh-roh jahat
oleh wanita-wanita yang memakai baju tradisional. Wanita-wanita itu mempercikan
air dan bunga pada tiang-tiang kraton.
B.
Taman Sari
Kami berjalan dari kraton melewati daerah
pemukiman untuk menuju Taman Sari. Taman Sari dahulu merupakan tempat bagi
sultan untuk bersantai. Selain itu, dahulu tempat ini juga merupakan tempat
persembunyian, tempat bermeditasi, dan tempat pertahanan. Taman Sari juga
dibangun oleh Pangeran Mangkubumi.
Taman Sari dibagi menjadi empat
daerah, tetapi hanya dua daerah yang masih menyisakan peninggalan. Daerah
pertama dulunya merupakan sebuah danau buatan yang bernama Segaran. Danau tersebut
sekarang sudah berubah menjadi pemukiman warga. Di danau tersebut juga terdapat
pulau-pulau buatan dan bangunan-bangunan di atasnya. Hanya reruntuhan
bangunan-bangunan tersebut yang tersisa karena dahulu, Taman Sari pernah
terguncang gempa. Selain itu, ada juga sebuah terowongan bawah tanah. Terowongan
ini dahulu diterangi oleh api biru, tetapi sekarang tidak sehingga keadaannya gelap.
Di dalam terowongan ini, terdapat sebuah masjid bawah tanah.
Daerah kedua adalah kompleks
pemandian. Daerah ini paling banyak dikunjungi oleh wisatawan karena merupakan
daerah yang paling terawat di Taman Sari. Terdapat dua pintu gerbang untuk
memasuki daerah ini, yaitu pintu barat dan pintu timur. Dahulu, pintu barat
merupakan pintu utamanya, tetapi sekarang pintu timur yang menjadi pintu utama.
Setelah memasuki pintu utama, maka akan ada lapangan yang berbentuk segi
delapan. Lapangan ini sering digunakan oleh sultan untuk beristirahat dan
merokok. Lapangan ini mengarah ke kompleks pemandian di mana sultan,
permaisurinya, selir-selirnya, dan putri-putrinya berendam. Di kompleks ini
terdapat beberapa kolam. Kolam yang paling besar digunakan oleh selir-selir
sultan untuk mandi. Sultan akan melempar bunga dari atas ke kolam tersebut, dan
selir yang beruntung akan diajak mandi berdua di suatu kolam khusus. Selir-selir
yang tidak beruntung kemudian akan mempercantik diri dan mewarnai kukunya
dengan buah jeruk kecil yang ditanam di daerah itu. Selesai berfoto, kami
berjalan kembali ke bus kami.
C.
Malioboro
Setelah makan siang di restoran
Pesta Perak, kami melanjutkan perjalanan kami ke Jalan Malioboro. Malioboro
adalah pusat perbelanjaan utama di Kota Yogyakarta. Jalan Pangeran Mangkubumi
dan Jalan Ahmad Yani juga merupakan bagian dari Jalan Malioboro ini.
Kami diberi waktu bebas sekitar 3
jam. Saya dan beberapa teman saya berjalan bersama menyusuri jalan ini. Sangat
banyak toko oleh-oleh di sini, tetapi barang-barang yang dijual hampir sama,
seperti kipas, sandal, baju, dan gantungan kunci. Walaupun daerah ini bukan
merupakan pusat oleh-oleh makanan, tetapi ada beberapa toko yang menjualnya.
Oleh-oleh makanan yang dijual antara lain adalah bakpia pathok, geplak, dan
dodol.] Karena hari itu lumayan
panas, kami memutuskan untuk masuk ke sebuah mal yang terletak di jalan ini,
yaitu Malioboro Mall. Mal ini cukup kecil jika dibandingkan dengan mal-mal di
Jakarta, tetapi fasilitas yang disediakan cukup lengkap. Di sini ada
restoran-restoran, toko buku, arena bermain, dan toko serba ada. Selain itu,
ada juga Dagadu. Dagadu dikenal sebagai merek yang berupa rancangan grafis pada
cinderemata seperti kaos, gantungan kunci, stiker, dan lain-lain.
D.
Candi Prambanan
Waktu sudah menunjukan pukul 17.00,
kami pun kembali ke bus. Kami lalu pergi ke Candi Prambanan. Dalam perjalanan,
kami melewati sebuah bandara yang bernama Bandara Adi Sucipto. Bandara ini merupakan
bandara paling sibuk keempat di Indonesia.
Setelah sekitar 20 menit, sampailah
kami di Candi Prambanan. Kami tidak masuk ke dalam daerah candinya karena sudah
malam. Kami memang datang hanya untuk menonton sendratari Ramayana. Sebelum
menonton, saya sempat berfoto dengan pemeran-pemeran dari sendratari ini.
Setelah itu, kami memasuki sebuah ruangan terbuka untuk menonton sendratari
ini.
Sendratari ini tentunya menceritakan
tentang kisah Ramayana. Kisah ini berasal dari cerita epos India. Inti dari
cerita Ramayana adalah perjuangan Rama menyelamatkan istrinya, Sita, yang
diculik oleh Rawana. Sendratari Ramayana diperankan oleh orang-orang berpakaian
khas yang menari-nari, diiringi oleh musik gamelan dan sinden. Tidak ada dialog
di dalam sendratari ini, tetapi tetap cukup menarik untuk ditonton karena
tarian yang ditampilkan sangat sesuai dengan karakter yang diperankan.
Sendratari ini berlangsung sekitar 2 jam.
Kami sampai di hotel sekitar pukul 23.00.
Kami menginap di Hotel Merapi Merbabu. Kami dibagikan kunci kamar masing-masing
dan langsung menuju ke kamar. Karena merupakan hotel bintang empat, hotel ini
cukup nyaman dan fasilitasnya cukup lengkap.
Hari Kelima
Pada hari kelima, kami sarapan pagi
di hotel. Makanan yang disediakan beragam seperti hotel pada umumnya. Kemudian,
kami memasukkan koper kami ke dalam bus dan berangkat ke Gunung Merapi.
A.
Desa Kinahrejo
Bus kami berhenti di sebuah tempat
parkir. Dari tempat itu, kami berjalan menanjak menuju Desa Kinahrejo. Sekitar
30 menit kemudian, kami sampai. Desa Kinahrejo merupakan tempat tinggal Mbah
Maridjan semasa hidupnya dan sekarang sudah tidak ditinggali lagi. Mbah
Maridjan dulunya adalah juru kunci Gunung Merapi dan sekarang digantinkan oleh
anaknya, Mas Asih. Kami diberi penjelasan oleh pemandu kami mengenai Gunung
Merapi dan erupsinya yang terjadi pada tahun 2010.
Gunung Merapi adalah salah satu
gunung berapi teraktif di dunia. Gunung ini terletak di Kabupaten Sleman,
Klaten, Boyolali, dan Magelang. Erupsi Merapi pada tahun 2010 menewaskan
sekitar 300 orang, termasuk Mbah Maridjan. Mbah Maridjan ditemukan tewas dalam
posisi bersujud. Peristiwa erupsi ini disertai dengan terjadinya awan panas.
Rumah Mbah Maridjan di Desa Kinahrejo
sudah diubah menjadi sebuah museum. Museum ini menampilkan barang-barang bekas
terkena awan panas, antara lain peralatan gamelan dan sebuah mobil. Mobil
tersebut adalah mobil yang digunakan oleh dua orang relawan saat mengevakuasi
warga Desa Kinahrejo. Sayangnya, dua orang relawan itu juga ikut terkena awan
panas sehingga nyawa mereka tidak dapat diselamatkan, tetapi jasa mereka akan
selalu dikenang warga Desa Kinahrejo.
Selesai melihat-lihat keadaan desa
tersebut, kami kembali turun ke tempat parkir dan melanjutkan perjalanan kami
ke Museum Gunung Merapi.
B. Museum Gunung Merapi
Museum ini terletak agak jauh dari
tempat parkir tempat kami berangkat tadi. Bentuk museum ini cukup unik. Di sini, kami juga ditemani oleh seorang
pemandu. Begitu masuk, kami melihat miniatur dari Gunung Merapi. Jika ditekan
suatu tombol, maka miniatur Gunung Merapi ini akan menampilkan simulasi
mengenai erupsinya.
Museum ini tidak hanya menampilkan
hal-hal yang berhubungan dengan Gunung Merapi saja. Kami diajak berkeliling
untuk melihat berbagai jenis gunung berapi yang ada di dunia dan jenis-jenis
letusannya. Kami juga diperlihatkan bongkahan-bongkahan bekas erupsi Gunung
Merapi. Pemandu tersebut juga bercerita kalau di erupsi Merapi pada tahun 2010,
ada orang-orang yang tidak melarikan diri dari Gunung Merapi tetapi malah
berlindung di dalam bunker bawah tanah. Pintu bunker tersebut terdorong oleh tanah
dan akhirnya orang-orang yang berlindung tidak dapat keluar dari bunker
tersebut dan meninggal.
Setelah itu, kami diajak untuk memasuki
sebuah ruangan teater. Kami menonton sebuah film tentang Gunung Merapi. Film
ini menceritakan kehidupan warga yang tinggal di kaki Gunung Merapi. Saat aman,
Merapi sangat memberi manfaat bagi mereka karena tanahnya yang subur sehingga
mudah ditanami berbagai jenis sayur dan buah. Mereka sangat menghormati Gunung
Merapi. Film ini juga menceritakan proses bagaimana aktivitas Gunung Merapi
diamati. Pos pengamatan Merapi berada di Jalan Kaliurang, yang dekat dengan
rumah penduduk.
C. Djava
Dari Gunung Merapi, kami pergi ke
restoran Boyong Kalegan untuk makan siang, dan kemudian pergi ke toko Djava
untuk membeli oleh-oleh makanan. Berbagai macam makanan dapat ditemukan di
sini, seperti bakpia, keripik-keripik, dodol, dan lain-lain.
Oleh-oleh utama dari Djava ini
adalah bakpia. Bakpia memang sangat populer di Yogyakarta. Bakpia dari
Yogyakarta diberi nama bakpia pathok karena dahulu berasal dari daerah Pathok,
Yogyakarta. Bakpia pathok memiliki ciri khas kulit tipis dan isi banyak. Di
toko ini, kami dapat melihat proses pengisian bakpia. Saya pun mencoba untuk
mengisi bakpia. Pertama, pipihkan adonan bakpia menjadi lebar. Lalu, bentuklah
lingkaran pada tangan kiri dengan menyatukan jari telunjuk dan jempol. Kemudian,
letakan adonan bakpia di lingkaran tersebut sehingga menjorok ke dalam, baru
masukkan isi bakpia dan rapatkan adonan tersebut. Bentuk adonan tersebut
menjadi bulat dan kemudian gepengkan di bagian lipatan.
Selesai membeli oleh-oleh, kami kembali
ke bus dan melaksanakan perjalanan pulang. Di bus, kami menonton film dari DVD
yang dibawa oleh salah satu teman kami. Kami mengadakan perhentian di Gombong
untuk makan malam di restoran Grafika. Lalu kami pun melanjutkan perjalan ke
Jakarta. Kami sampai di sekolah pada pukul 06.00 keesokan harinya.