Sunday, March 15, 2015

Kunjungan ke Dieng dan Yogyakarta

Hari Pertama
            Pada hari pertama, kami menghabiskan waktu di dalam bus. Kami tidak mengunjungi objek wisata. Dari sekolah, kami menuju Jalan Yusuf Adiwinata, Jalan M.H. Thamrin, dan Jalan Sudirman. Tugas memandu orang pertama dilaksanakan mulai dari Jalan M.H. Thamrin. Di Jalan Sudirman, terdapat patung pahlawan nasional Indonesia yang dikenal sebagai panglima besar pertama Tentara Republik Indonesia, yaitu Jendral Sudirman. Dari Jalan Sudirman, kami memasuki gerbang tol Semanggi menuju Jalan Tol Dalam Kota. Terdapat jalan raya di bawah jalan tol ini, yaitu Jalan Gatot Subroto. Kami melewati Patung Dirgantara, atau biasa lebih dikenal dengan nama Patung Pancoran, yaitu patung yang dibangun pada masa pemerintahan Presiden Soekarno untuk melambangkan keinginan bangsa Indonesia untuk menjelajahi angkasa. Dari Jalan Tol Dalam Kota, kami memasuki Jalan Tol Jakarta-Cikampek yang melewati empat daerah, yaitu Kota Jakarta, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Karawang. Lalu dilanjutkan ke Jalan Tol Purbaleunyi yang melewati Kabupaten Purwakarta dan Bandung Raya. Di Kabupaten Purwakarta, kami mengadakan perhentian di daerah peristirahatan untuk sarapan di dalam bus. Selesai sarapan, kami melanjutkan perjalanan. Setelah keluar dari Jalan Tol Purbaleunyi, kami melewati jalan biasa untuk menuju Kabupaten Wonosobo. Kami melewati Nagreg yang masih terletak di Kabupaten Bandung. Jalan di daerah Nagreg ini memang terkenal sangat berkelok-kelok dan membuat beberapa teman saya mabuk. Bahkan teman saya yang sedang memandu di daerah itu pun berkali-kali kehilangan keseimbangan dan hampir terjatuh. Setelah itu, kami melewati Kabupaten Garut, yang penuh dengan penjual-penjual dodol yang khas di pinggir jalan. Kabupaten berikutnya yang kami lewati adalah Tasikmalaya, yang terkenal sebagai pusat kerajinan tangan. Produk-produknya antara lain kerajinan sutra, payung kertas, dan tas anyaman. Setelah itu, kami melewati Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar. Kota Banjar termasuk di Provinsi Jawa Barat, tetapi berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah, tepatnya Kabupaten Cilacap.
            Di Kabupaten Cilacap, kami mengadakan perhentian kembali untuk makan siang di restoran Pringsewu. Restoran ini terletak di Jalan Raya Banjar Majenang Kilometer 10, Wanareja, Cilacap. Setelah berdoa bersama, kami langsung diperbolehkan untuk mengantri mengambil makanan yang ada. Ketika kami sudah selesai makan, tiba-tiba pelayan restoran datang dan membawa beberapa gelas minuman. Lagu Selamat Ulang Tahun pun diputar di restoran tersebut. Pelayan restoran tadi memanggil nama beberapa teman saya yang tanggal ulang tahunnya dekat dengan 21 April. Ternyata, sebelum makan, tim yang bertugas pada hari itu sudah menuliskan tanggal ulang tahun  yang berdekatan sehingga dapat dirayakan. Perayaan tidak berlangsung lama karena kami harus melanjutkan perjalanan.
            Selanjutnya, kami melewati Kabupaten Banyumas dan juga ibukotanya, yaitu Kota Purwokerto. Ketika kami melewati daerah ini, langit sudah mulai gelap dan hari mulai malam. Tugas memandu pun berakhir di kota ini. Kami beristirahat dan ada beberapa yang tertidur. Perjalanan ke Wonosobo masih memakan waktu cukup lama. Setelah melewati Kabupaten Purbalingga dan Kabupaten Banjarnegara, akhirnya kami sampai di Kabupaten Wonosobo di mana tempat penginapan kami berada.  
            Kira-kira pukul 08.00 kami sampai di tempat penginapan kami, yaitu Kledung Pass. Kledung Pass terletak di dekat Dieng, tepatnya di Jalan Raya Wonosobo-Parakan Kilometer 17, Wonosobo. Seturunnya dari bus, angin malam yang dingin sangat terasa. Kami langsung menuju ke prasmanan untuk makan malam. Sehabis makan malam, kami mengambil kunci kamar, mengambil koper dari bus, dan menuju kamar kami masing-masing. Kami diberi waktu sebentar untuk membereskan barang dan mandi, kemudian kami diminta untuk berkumpul di aula. Sebuah video singkat tentang Dieng ditayangkan di ruangan tersebut. Lalu, kami menuju ke lantai bawah untuk berpesta api unggun. Kami pun disuguhi cemilan dan wedang jahe untuk memperhangat suasana. Secara tidak sengaja, salah satu teman saya menjatuhkan gelas saat mengambil wedang jahe. Gelas tersebut pecah tetapi untungnya tidak ada yang terluka.



 Hari Kedua
            Pada hari kedua, kami diminta untuk bangun pada pukul 03.00 karena akan melihat matahari terbit. Di depan tempat penginapan, sudah ada beberapa minibus yang siap mengantar kami ke Dataran Tinggi Dieng. Perjalanan ke tempat tujuan kami yang pertama memakan waktu kurang lebih selama 1 jam. Dalam perjalanan, tercium bau-bau yang kurang sedap. Bau tersebut adalah bau kotoran ayam yang digunakan untuk memupuk tanaman kentang. Kami mengunjungi beberapa objek wisata.
A.                Gardu Pandang Tieng
            Sesuai dengan namanya, gardu ini terletak di daerah Tieng. Untuk menuju Dieng, wisatawan memang perlu melewati daerah yang bernama Tieng ini. Ada alasan mengapa daerah ini dinamakan Tieng. Kalau barang dari tempat tinggi jatuh, maka akan ada bunyi, “Dieng!” yang cepat, sedangkan kalau barang dari tempat rendah jatuh, maka akan ada bunyi, “Ti..eng” yang lambat. Tieng terletak di ketinggian 1800 meter di atas laut, sedangkan Dieng di ketinggian 2000 meter di atas laut.
            Kami sampai di Gardu Pandang Tieng kira-kira pukul 05.00. Langit masih gelap. Di sana, kami menunggu matahari terbit sambil diberi penjelasan tentang keunikan-keunikan Dieng oleh seorang pemandu. Kira-kira pukul 05.30, matahari mulai muncul dari belakang bukit yang berada di sebelah kiri. Lama-kelamaan, matahari tersebut meninggi dan bergerak ke tengah. Sinarnya berwarna merah keemasan. Itulah alasan mengapa matahari terbit ini disebut sebagai “Golden Sunrise”. Kami berfoto bersama dengan latar matahari yang indah tersebut.
            Sebetulnya, Golden Sunrise juga dapat dilihat dari puncak Bukit Sikunir, tetapi untuk mencapai puncak bukit ini memerlukan perjuangan lebih karena jalan yang harus dilalui sempit dan banyak bebatuan. Untuk melihat Golden Sunrise di Bukit Sikunir juga harus bangun lebih pagi atau waktunya tidak akan cukup untuk mendaki.

B.                 Dataran Tinggi Dieng
            Kami melanjutkan perjalanan dengan minibus untuk menuju ke Dataran Tinggi Dieng. Kami berhenti di depan tempat pembelian oleh-oleh. Tempat tersebut menyediakan kripik kentang, manisan carica, minuman purwaceng, dan berbagai macam oleh-oleh khas Dieng yang lain.
            Kentang, carica, dan purwaceng memang merupakan tanaman-tanaman yang lumayan banyak dikembangkan di Dieng. Cara panen kentang Dieng cukup unik. Karena kentang-kentang tersebut ditanam di lereng yang cukup tinggi, maka dibuatlah alat pengangkut khusus kentang tersebut. Alat tersebut berbentuk seperti permainan flying fox yang biasa ditemukan di arena outbound. Alat tersebut tidak menggunakan tali, tetapi menggunakan kabel listrik. Carica adalah tanaman sejenis pepaya, tetapi bentuknya lebih kecil dari pepaya pada umumnya. Rasa asli dari buahnya adalah masam, tetapi diolah menjadi manisan yang menyegarkan oleh warga Dieng. Purwaceng, atau juga dikenal sebagai ginseng Dieng, adalah tanaman herbal khas Dieng. Purwaceng ini dikenal sebagai tanaman yang dapat menghangatkan dan membangkitkan stamina tubuh, biasanya diolah dalam bentuk minuman atau bubuk. Tetapi, Purwaceng mentah juga dapat dimakan sebagai lalap. Katanya, tanaman ini juga dapat ditemukan di Pegunungan Alpen.  
C.                 Kompleks Percandian Arjuna
            Dari tempat pembelian oleh-oleh, kami berjalan kaki menuju Kompleks Percandian Arjuna.Untuk menuju kompleks percandian ini, kami melewati jalan yang tidak terlalu lebar dan dipenuhi oleh pepohonan besar. Banyak jaring laba-laba yang menempel di pohon-pohon tersebut, bahkan ada jaring laba-laba yang menghubungkan satu pohon dengan pohon lain yang terletak di seberangnya. Tidak sampai 30 menit berjalan, kami pun sampai di kompleks percandian tersebut.
            Kompleks percandian ini terletak di rerumputan yang luas dan merupakan salah satu dari tiga kompleks percandian di Dieng. Kompleks ini dipercaya sebagai percandian Hindu tertua di Pulau Jawa. Terdapat lima candi di kompleks ini. Tidak diketahui nama asli dari candi-candi tersebut, karena sudah dibangun sejak abad 9 Masehi. Nama-nama dari cerita pewayangan Mahabharata diberikan ke lima candi tersebut, yaitu Arjuna sebagai candi utama, Semar, Srikandi, Puntadewa, dan Sembrada. Candi-candi ini dibangun untuk memuja salah satu dari Trimurti, yaitu dewa penghancur, Dewa Siwa. Hanya Candi Semar yang mempunyai fungsi berbeda, yaitu untuk menyimpan artefak-artefak keagamaan. Memang, Candi Semar dibangun menghadap arah yang berbeda dengan empat candi yang lain.
            Di kompleks ini juga, wisatawan dapat melihat Silver Sunrise. Silver Sunrise adalah kelanjutan dari Golden Sunrise. Orang-orang berkata kalau matahari di Dieng terbit dua kali, padahal sebenarnya matahari yang sudah terbit tadi tertutup oleh Gunung Sindoro dan setelah beberapa saat akan keluar lagi dari balik gunung tersebut. Silver Sunrise ini tidak kalah indah dengan Golden Sunrise. Matahari memancarkan sinarnya yang berwarna putih keperakan.
            Selain itu, Kompleks Percandian Arjuna juga merupakan tempat yang biasa digunakan untuk mengadakan ruwatan anak gimbal. Ruwatan anak gimbal adalah upacara pemotongan rambut anak gimbal. Anak gimbal merupakan salah satu fenomena mistis di Dataran Tinggi Dieng. Anak-anak tersebut dilahirkan normal, tetapi dalam suatu fase tertentu, anak-anak tersebut akan mengalami demam yang sangat tinggi dan tidak dapat diobati. Ketika demam tersebut sembuh dengan sendirinya, maka rambut anak-anak tersebut akan berubah menjadi gimbal. Anak gimbal dipercaya membawa keberuntungan bagi keluarganya. Rambut anak gimbal sudah harus dipotong sebelum anak tersebut berubah menjadi remaja. Anak gimbal itu sendiri yang akan menentukan waktunya, dan sebelum dipotong, ia akan meminta sebuah atau beberapa permintaan dan permintaan tersebut harus dipenuhi. Kalau tidak dipenuhi, maka akan membawa malapetaka bagi keluarganya dan setelah dipotong, rambut anak tersebut akan gimbal kembali. Tetapi jika permintaannya dipenuhi, setelah dipotong, rambut anak tersebut akan tumbuh lurus dan normal.
            Selesai berfoto dan mengelilingi Kompleks Percandian Arjuna, kami pun berjalan keluar dan dipertemukan dengan seorang anak gimbal. Anak gimbal itu bernama Selfi dan tidak bisa berbahasa Indonesia. Untuk berbicara dengannya, kami meminta pemandu kami untuk menerjemahkan ke Bahasa Jawa. Poninya lurus seperti rambut biasa, tetapi rambut bagian belakangnya terlihat menempel membentuk ikatan-ikatan. Katanya, biasanya anak gimbal tidak mau menemui orang-orang yang memiliki pikiran jahat. Anak gimbal tersebut dapat merasakan aura negatif dari manusia. Usai mengobrol dengan Selfi, kami pun sarapan.


D.                Kawah Sikidang
            Sehabis sarapan, kami menuju ke minibus kami masing-masing untuk melanjutkan perjalanan ke Kawah Sikidang. Perjalanan tersebut tidak memakan waktu lama.
            Sesampainya di Kawah Sikidang, terdapat banyak penjual masker. Hal ini karena bau belerang di Kawah Sikidang cukup tajam, tetapi masih aman jika dihirup tidak terlalu lama. Kawah Sikidang merupakan satu-satunya kawah di Dieng yang masih aman untuk dikunjungi. Kawah-kawah yang lain mengeluarkan gas beracun.
            Nama Sikidang berarti kijang. Kawah ini dinamakan Sikidang karena sering berpindah-pindah tempat seperti lompatan kijang. Sebenarnya kawah ini bukan berpindah, tetapi membentuk kawah-kawah kecil di sekitarnya, sehingga wisatawan harus berhati-hati ketika berjalan menuju kawah utama. Panas dari lumpurnya dapat mencapai 90 derajat Celsius. Walaupun baunya tajam, uap di kawah ini dipercaya dapat memuluskan kulit.
            Selain itu, kawah ini juga memiliki manfaat lain, yaitu untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi atau PLTPB. Uap dari kawah ini disalurkan melalui pipa-pipa ke tabung besar. Di tabung tersebut, akan dipisahkan uap dan air. Lalu, uap tersebut akan disalurkan ke pembangkit listrik dan listrik akan disebarkan di rumah-rumah warga di Dieng.

E.                Telaga Warna 
            Puas melihat-lihat Kawah Sikidang, kami melanjutkan perjalanan ke kawasan Telaga Warna dengan menggunakan minibus. Jarak antara Kawah Sikidang dan Telaga Warna cukup dekat. Kawasan Telaga Warna juga cukup luas.
            Telaga ini disebut Telaga Warna karena memiliki warna yang berbeda-beda, seperti biru, hijau, ungu, coklat, kuning, dan bahkan warna pelangi, tergantung dari pantulan cahaya matahari dan dari arah mana telaga ini dilihat. Air di telaga ini mengandung belerang, sehingga tidak ada kehidupan di dalamnya. Juga tidak tersedia wisata air, karena konon walaupun telaga ini terlihat tenang, ada pusaran yang sangat besar di tengahnya. Dahulu, sempat ada orang Belanda yang mencoba naik perahu, tetapi  ketika sampai di tengah perahunya tidak dapat bergerak ke mana-mana dan ia hampir tenggelam. Untungnya, ia dapat diselamatkan dengan bantuan tambang.
            Di sebelah Telaga Warna, terdapat Telaga Pengilon. Pengilon berarti kaca. Katanya, dahulu jika orang berkaca di telaga ini dan wajahnya tercermin di air, maka orang tersebut adalah orang baik, tetapi jika tidak tercermin, maka orang tersebut adalah orang jahat. Tetapi, sekarang air di Telaga Pengilon sudah tidak sejernih dahulu sehingga tidak dapat dipakai untuk berkaca.
            Di sekitar kawasan ini, juga terdapat tiga buah gua yang dapat digunakan sebagai tempat bermeditasi. Gua yang pertama adalah Gua Sumur. Raja-raja dari Kerajaan Jawa, Presiden Soekarno, dan Presiden Soeharto pernah bertapa di gua ini sebelum mereka berkuasa. Untuk memasuki gua ini, diperlukan izin dan bimbingan dari juru kunci, sehingga tidak dapat dimasuki wisatawan biasa. Gua yang kedua adalah Gua Pengantin. Orang yang bermeditasi di dalam gua ini dipercaya akan mendapatkan jodoh. Di dalam gua ini juga terdapat air yang menetes dari puncak gua. Tetesan air tersebut dipercaya membawa keberuntungan. Cara meminumnya adalah dengan menjulurkan lidah dan menunggu tetesan air itu jatuh. Air tersebut tidak boleh disentuh oleh tangan. Teman-teman saya yang penasaran pun mencoba merasakan tetesan air tersebut. Karena ramai, saya tidak ikut mencobanya. Gua yang ketiga adalah Gua Jaran atau Gua Kuda. Wanita yang sulit mendapatkan anak, jika bermeditasi di gua ini dipercaya akan mudah mendapat keturunan.   
            Setelah mengunjungi Telaga Warna, kunjungan kami ke Dieng pun berakhir dan kami kembali ke tempat penginapan. Perjalanan kembali memakan waktu lebih lama daripada saat berangkat karena terjadi kemacetan. Karena lelah sudah beraktivitas sejak subuh, kami tertidur di dalam minibus.



F.                 Candi Borobudur 
            Di penginapan, kami makan siang, mandi, dan mengepak barang kami. Tiba-tiba turunlah hujan dan kami buru-buru memindahkan barang-barang kami ke dalam bus. Kami melanjutkan perjalanan kami ke Borobudur. Setelah melewati Kabupaten Temanggung, akhirnya kami sampai di Kabupaten Magelang. Perjalanan dari Dieng ke Borobudur kira-kira memakan waktu 2 jam.
            Ketika sampai di Borobudur, hujan belum berhenti. Kami turun dari bus dengan membawa payung dan jaket. Ada tiga siswa yang diminta untuk bertugas di sini. Tugasnya adalah menerjemahkan apa yang dikatakan oleh pemandu lokal yang menemani kami. Dari tempat parkir, kami berjalan sekitar sepuluh menit menuju Candi Borobudur.   
            Di depan candi, ada sebuah tanda penghargaan untuk Borobudur dari UNESCO. Sedikit berjalan ke depan, kami sampai di barisan tangga yang digunakan untuk mencapai Candi Borobudur. Candi Borobudur dibangun pada abad ke-9 di bawah pemerintahan Dinasti Syailendra. Candi ini memiliki 2.672 papan relief dan 504 patung Buddha.
            Candi Borobudur terdiri dari tiga bagian, yaitu Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu. Kamadhatu merupakan bagian yang paling rendah dan melambangkan alam di mana manusia masih terikat pada nafsunya. Kamadhatu berhiaskan relief Karmawibangga, yang menceritakan tentang perbuatan-perbuatan yang dilakukan manusia serta hukuman-hukumannya. Tetapi, relief Karmawibangga ini sebagian besarnya sudah ditutup oleh bagian tambahan candi, sehingga hanya satu bagian kecil yang dapat dilihat wisatawan. Rupadhatu adalah bagian tengah yang melambangkan alam di mana manusia sudah tidak terikat pada nafsunya, tetapi masih terikat dengan nama dan wujud. Salah satu relief yang ada di Rupadhatu menceritakan kisah dari Lalitawistara. Lalitawistara adalah cerita mengenai Pangeran Siddharta sejak lahir sampai ia menerima bodhi dan menjadi Buddha. Relief lain di Rupadhatu mengambil kisah dari kitab Jataka, yang menceritakan cerita-cerita tentang Buddha di kehidupan sebelumnya, baik dalam bentuk manusia maupun binatang, sebelum ia dilahirkan menjadi Pangeran Siddharta. Terdapat 432 patung di bagian Rupadhatu. Bagian tertinggi dari candi ini adalah Arupadhatu. Arupadhatu melambangkan alam di mana sudah tidak ada nama dan wujud, tetapi manusia masih belum mencapai nirwana. Di bagian ini tidak terdapat relief, tetapi ada tiga serambi yang melingkar mengelilingi sebuah stupa besar. Ada sekitar 72 stupa kecil yang mengelilingi stupa besar tersebut.
            Ada sebuah mitos yang sangat terkenal di candi ini, yaitu Kunto Bimo. Menurut mitos tersebut, jika seorang laki-laki berhasil menyentuh jari manis arca yang ada di dalam stupa atau seorang perempuan berhasil menyentuh tumit kaki arca yang ada di dalam stupa, maka permintaannya akan terkabul. Tetapi, sekarang hanya satu arca yang diperbolehkan untuk disentuh karena jika arca-arca yang lain juga disentuh, maka akan cepat rusak.
            Sekitar pukul 18.00, candi ini ditutup sehingga kami meninggalkan lokasi dan kembali ke bus. Kami melanjutkan perjalanan kami ke tempat di mana kami akan live in, yaitu Desa Brayut.

G.                Desa Brayut 
            Desa Brayut adalah sebuah desa wisata yang terletak di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa ini tidak terlalu kuno karena sudah tersedia fasilitas seperti listrik, tetapi bentuk-bentuk rumahnya masih banyak yang tradisional. Warga di desa ini bekerja di bidang pertanian dan peternakan.
            Jalan menuju Desa Brayut cukup sempit sehingga bus kami diparkir di depan sekolah yang ada di depan jalan raya. Sambil menyeret koper, kami berjalan sedikit untuk memasuki desa ini. Kebetulan ketika kami sampai, Desa Brayut sedang mengalami kematian listrik dan langit sangat gelap sehingga kami harus menyalakan lampu senter. Karena tidak dapat melihat apa-apa di sekeliling, saya merasa kalau jalan ke pendopo utama sangat jauh, tetapi sebenarnya jaraknya cukup dekat. Di pendopo utama, kami diminta untuk duduk. Dengan penerangan yang sangat kurang, guru-guru pembimbing dan para wakil desa memberikan penjelasan singkat tentang apa yang harus kami lakukan di sini. Kegiatan yang dijadwalkan hari itu pun diundur karena situasi yang kurang mendukung.
            Tiba-tiba, salah satu guru mata pelajaran Pemanduan Wisata, Bapak Richard, berkata kalau ada seorang anak yang ingin protes ke salah satu guru pembimbing kami, yaitu Ibu Yachinta. Anak itu diminta untuk masuk ke dalam pendopo, dan bukannya protes, ternyata ia membawa sebuah kelapa muda yang ditancap lilin. Nyanyian “Selamat Ulang Tahun” langsung memenuhi ruangan tersebut. Ibu Yachinta yang sedang berulang tahun itu langsung kaget dan tidak bisa berkata apa-apa. Ketika mulai berbicara, ia menangis terharu. Ia berkata bahwa ulang tahun kali ini adalah ulang tahunnya yang paling berkesan, karena dirayakan di dalam keadaan gelap bersama dengan seluruh siswa yang ada.
            Selesai merayakan ulang tahun, kami diminta berkumpul bersama kelompok live in kami masing-masing. Kelompok saya terdiri dari empat orang. Kami diantar oleh seorang perwakilan dari desa. Jalan menuju rumah tempat kami live in cukup jauh dibanding dengan rumah kelompok lain. Setelah beberapa menit, akhirnya kami sampai di rumah tujuan kami, yaitu rumah Ibu Daru. Ibu Daru dan anaknya menyapa kami dengan ramah. Di rumah itu pun, ada cucu laki-laki Ibu Daru yang masih kecil. Karena listrik masih belum juga menyala, kami memutuskan untuk tidak mandi pada malam itu. Kami diberi makan malam dan disuguhi teh manis. Setelah itu, kami beristirahat.

Hari Ketiga
            Setelah bangun pagi, mandi, dan sarapan, kami pamit pada Ibu Daru dan keluarganya. Kami berempat pergi ke rumah yang terletak tepat di samping rumah Ibu Daru, yang juga ditempati oleh teman-teman kami dari kelompok lain. Kami mengobrol lalu pergi ke pendopo utama bersama-sama.
            Kegiatan pertama kami pada hari itu adalah jalan desa. Dengan Bapak Darmadi sebagai pemandu kami, kami mengelilingi Desa Brayut sambil mempelajari sejarah dan budayanya. Dalam perjalanan, tiba-tiba terjadi ledakan pada salah satu tiang listrik. Kami langsung kaget dan menghindar. Ledakan tersebut mengakibatkan kematian listrik untuk kedua kalinya. Untungnya tidak ada yang terluka. Kemudian, kami melanjutkan perjalanan.
            Nama Brayut ternyata diambil dari nama pendiri desa ini. Asal mula desa ini hanyalah dari sebuah gubuk kecil. Kemudian, Kakek Brayut mengajak orang-orang untuk tinggal di daerah ini. Kakek Brayut dimakamkan tepat di samping gubuknya itu. Pada masa penjajahan, Desa Brayut adalah markas tentara.  Desa ini sempat dikepung oleh penjajah Belanda. Kemudian, seorang sakti dari Desa Brayut, Bapak Kerto Byogo menyerahkan diri ke penjajah Belanda untuk menyelamatkan warga desa ini. Karena sakti, ia tidak mati ketika ditembaki peluru oleh penjajah Belanda. Akhirnya, ia meninggal dengan dikubur hidup-hidup. Ia memiliki sebuah rumah joglo di desa ini, yang masih ditinggali oleh keturunannya. Selain itu, juga ada beberapa pejuang lain yang dimakamkan di desa ini. Makam-makam tersebut ditancapkan bendera merah putih.
            Kami juga ditunjukan mesin penggilingan padi oleh Pak Darmadi. Padi-padi yang sudah dipanen digiling dalam  mesin tersebut sehingga menjadi gabah. Gabah-gabah tersebut kemudian dijemur di depan halaman rumah penduduk. Desa ini memiliki sebuah peternakan, tetapi kami tidak mengunjungi peternakan tersebut. Selain itu, terdapat sebuah tempat khusus untuk membeli oleh-oleh di desa ini, yaitu di Ani-ani. Barang-barang yang terdapat di Ani-ani ada yang sama dengan barang-barang di Malioboro tetapi dijual dengan harga yang lebih murah.
            Puas mengelilingi desa, kami diajak Bapak Darmadi kembali ke pendopo utama. Di sana, kami diberi kebebasan untuk mencoba bermacam-macam permainan tradisional. Karena lelah, saya tidak ikut bermain dan hanya melihat teman-teman saya bermain. Permainan pertama yang disediakan alatnya adalah bakiak. Ada sekitar lima pasang sandal bakiak yang disediakan dan satu pasangnya diisi oleh tiga orang. Meskipun hari itu sangat panas, mereka tetap berlomba dengan penuh semangat. Permainan ini benar-benar melatih kekompakan. Karena kurang kompak, ada beberapa orang yang lecet bagian tubuhnya.  
            Permainan kedua adalah enggrang. Alat yang disediakan ada cukup banyak, sehingga banyak yang ikut mencobanya. Meskipun terlihat mudah, tetapi ternyata sangat sulit untuk menguasai permainan ini. Orang yang memainkan enggrang memerlukan keseimbangan. Kebanyakan yang mencoba permainan ini tidak dapat berjalan sendiri, sehingga harus dipegangi oleh teman yang lain. Meskipun sudah dipegangi, tetap sulit untuk bermain permainan ini. Ada juga teman-teman yang bermain congklak di dalam pendopo utama. Karena biji congklaknya kurang, maka satu kolom tidak dapat diisi tujuh biji. Walaupun sederhana, menonton permainan congklak ini sangat membuat penonton seru.
            Setelah bermain, kami melakukan kegiatan kami selanjutnya, yaitu membatik. Kami diminta untuk duduk berkelompok. Satu kelompok diberi kompor untuk melelehkan malam. Kami masing-masing juga diberikan canting dan kain yang sudah digambar pola bunga. Kami hanya perlu melapisi pola tersebut dengan malam. Kain tersebut seharusnya diletakkan di tangan kiri, tetapi karena malamnya sangat panas, banyak yang meletakkan kain tersebut di atas kursi. Jadi, kami beramai-ramai duduk di lantai. Untuk mengambil malam, canting dimiringkan sedikit dan tidak perlu diisi sampai penuh, cukup setengahnya saja. Setelah itu, tinggal perlu menggoreskan canting pada pola kain. Terdengar mudah, tetapi sebenarnya membatik benar-benar perlu kesabaran. Walaupun cantingnya belum menyentuh kain, terkadang jatuh tetesan malam. Canting yang saya dapat juga kurang baik, karena ketika menyentuh kain sedikit saja, semua malam yang ada di canting keluar dan melebar. Saya pun meminta canting yang lain kepada fasilitatornya.
            Ada beberapa teman saya yang terkena tumpahan malam. Bagian yang terkena malam diolesi minyak tanah sehingga malamnya lepas. Akhirnya setelah sekitar dua jam, kegiatan membatik pun selesai. Kami kembali ke rumah live in kami masing-masing dan makan siang.
            Selesai makan siang, kami melanjutkan kegiatan kami dengan menjanur. Menjanur adalah membuat kerajinan tangan dengan bahan janur, yaitu daun kelapa yang masih muda. Ada beberapa pembina dalam kegiatan ini. Pembina-pembina tersebut mengajarkan hal-hal yang berbeda. Ada yang membuat keris, belalang, ketupat, bola, dan pecut. Kami dibebaskan untuk memilih pembina yang kami inginkan. Saya mengikuti Bapak Darmadi yang mengajarkan cara membuat bola dan ketupat.
            Untuk membuat bola memerlukan dua helai janur. Masing-masing batang daunnya dibuang sehingga ada empat bagian. Empat bagian tersebut diikat menjadi satu pada bagian ujung bawah. Lalu, janur yang telah diikat dibuat anyaman. Cara untuk menganyamnya cukup rumit bagi saya, sehingga saya tidak sempat untuk mencoba membuat kerajinan janur yang berbentuk lain. Setelah mengajarkan cara membuat bola, Bapak Darmadi mengajarkan cara membuat ketupat tetapi saya hanya melihatnya. Kami semua terkagum karena Bapak Darmadi dapat membuat ketupat dalam waktu yang sangat singkat, hanya satu menit. Membuat ketupat ternyata jauh lebih rumit lagi dibandingkan dengan membuat bola. Teman-teman saya yang mengikuti Bapak Darmadi pun kewalahan dan banyak yang tidak dapat menyelesaikan ketupatnya.
           Sementara mereka sibuk membuat ketupat, teman-teman yang lain bermain gobak sodor di lapangan pendopo. Mereka bermain dengan penuh semangat dan terdengar sangat seru. Saya tidak ikut bermain. Saya bermain congklak di dalam pendopo bersama dengan teman saya. Sekitar pukul 17.00, kami kembali ke rumah live in kami masing-masing untuk mandi dan beristirahat sejenak.
            Kami kembali ke pendopo utama untuk melakukan kegiatan kenduri. Kenduri berarti berkumpul dan menikmati apa yang ada. Kenduri ini adalah acara makan malam bersama khas Jawa. Selesai berdoa bersama, kami satu per satu mengambil makanan kami masing-masing. Makanan yang disediakan cukup bervariasi, mulai dari nasi tumpeng, ayam goreng, kentang balado, rempeyek, dan lain-lain. Makanan-makanan tersebut memiliki makna masing-masing. Bermacam-macam jenis makanan yang mengelilingi nasi tumpeng melambangkan manusia yang berbeda-beda. Ada palang pada nasi tumpeng yang melambangkan bahwa tujuan semua manusia yang berbeda-beda itu satu, yaitu Tuhan. Selain itu, ayam yang disediakan juga terdiri dari ayam jantan dan betina, yang berarti manusia diciptakan laki-laki dan perempuan, bukan yang lain.
            Setelah kegiatan kenduri berakhir, kami kedatangan seorang guru tari. Kami dibagikan selendang untuk diikat pada perut kami. Guru tari itu mengajarkan kami empat tarian, mulai dari tarian yang gerakannya lambat sampai yang cepat. Tarian-tarian tersebut berasal dari Jawa. Sebelum mulai mengajarkan tarian, kami diajari gerakan-gerakan dasar yang ada di tarian Jawa. Karena keterbatasan waktu, guru tari tersebut mengajar kami dengan cepat. Meskipun gerakannya sulit, kami tetap mengikutinya dengan senang hati.
            Selesai menari, kami pun menuju suatu ruangan yang terletak di belakang pendopo utama untuk belajar karawitan. Karawitan adalah kesenian bermain gamelan. Karawitan ini dibagi menjadi dua sesi karena keterbatasan alat. Hanya setengah kelas yang dapat bermain dalam satu sesi. Karena alat-alat musik yang lain sudah terambil teman-teman saya, maka saya bermain gong. Pertama, saya bingung karena bapak pembinanya tidak memberi tahu cara memainkannya. Di not lagunya juga tidak tertera keterangan nada apa yang harus dimainkan pada gong. Setelah beberapa lama, akhirnya pembina tersebut memberi tahu saya bagaimana caranya. Kami memainkan sekitar tiga lagu yang sederhana. Hanya dua nada gong yang perlu dipukul dan dibunyikannya hanya pada akhir dari setiap baris.
            Sesi kami pun berakhir. Saya menunggu teman saya yang bermain di sesi berikutnya karena hari itu sudah sangat malam dan lebih baik jika kembali ke rumah live in dengan bersama-sama. Sementara saya menunggu teman saya, teman-teman yang lain diantar pergi ke Ani-ani oleh salah satu pembina dari desa. Ternyata berjalan di Desa Brayut pada malam hari tidak terlalu gelap. Lampu jalan dan lampu rumah warga menerangi jalan.







Hari Keempat
            Pada hari keempat, kami bangun sangat pagi karena harus mengikuti kegiatan senam pagi di lapangan pendopo utama. Kedua bapak instruktur mengajak kami senam dengan semangat. Gerakan-gerakan yang diajarkan mudah diikuti. Orang-orang yang tadinya mengantuk menjadi segar.
            Selesai senam pagi, kedua bapak instruktur kembali mengajak kami untuk bergerak, tetapi dengan lagu-lagu yang sudah dikenal. Kami melakukan senam poco-poco. Karena poco-poco gerakannya berulang-ulang, lama-kelamaan kami bosan dan meminta lagu yang lain. Kami pun diajarkan goyang oplosan oleh bapak-bapak instruktur tadi. Para peserta senam kembali bersemangat.
            Setelah itu, kami segera kembali ke rumah live in kami untuk mandi, sarapan, dan berkemas. Kami pamit pada Ibu Daru dan keluarganya, lalu segera menuju ke pendopo utama. Di pendopo utama, perwakilan dari Desa Brayut dan sekolah kami saling mengucapkan kata-kata penutup. Kami pun berpamitan pada Bapak Darmadi dan pembina yang lain. Kami naik ke bus untuk melanjutkan perjalanan ke Kota Yogyakarta. Perjalanan memakan waktu sekitar 30 menit. Dalam perjalanan, kami melewati sebuah tugu yang sangat terkenal, yaitu Tugu Yogyakarta. Tugu tersebut membuat sebuah garis imajiner yang menghubungkan Gunung Merapi, Keraton Yogyakarta, dan Pantai Selatan. Tugu tersebut merupakan titik nol dari Kota Yogyakarta dan sering dipakai sebagai objek berfoto bagi para turis.
A.                Kraton Yogyakarta
            Objek pertama yang kami kunjungi di kota ini adalah Kraton Yogyakarta. Kami dipandu oleh seorang abdi dalem. Abdi dalem adalah sebutan untuk orang yang mengabdikan dirinya kepada sultan dan kraton. Kraton ini masih ditinggali oleh penguasa Daerah Istimewa Yogyakarta sekarang, Sultan Hamengku Buwono X, dan keluarganya. Kraton ini dibangun pada tahun 1756 oleh Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan Hamengku Buwono I. Kraton ini terletak di antara dua kekuatan alam, yaitu Gunung Merapi dan Pantai Selatan. Konsep tersebut dinamakan Manunggaling Kawulo Gusti, yang artinya persatuan antara Tuhan dan umatnya. Luas dari kraton ini adalah 14.000 m2. Di dalamnya terdapat banyak bangunan-bangunan, halaman-halaman, dan lapangan-lapangan. Kraton ini menyimpan berbagai macam koleksi sultan-sultan sebelumnya seperti lukisan, pakaian, peralatan sehari-hari, gamelan, dan benda-benda sakti.
            Kraton ini dibagi menjadi tujuh daerah. Daerah pertama adalah alun-alun utara yang digunakan sebagai tempat berlatih tentara dan siti hinggil utara yang digunakan sebagai tempat untuk memahkotai sultan baru. Daerah kedua adalah kemandhungan utara yang digunakan sebagai tempat berkumpul tentara. Daerah ketiga adalah halaman srimanganti yang dahulu digunakan sebagai ruang tamu, tetapi sekarang digunakan untuk menampilkan wayang orang, wayang kulit, dan wayang golek. Daerah keempat adalah kedhaton yang digunakan sebagai tempat di mana sultan dan keluarganya tinggal. Daerah kelima adalah kemegangan sebagai dapur kraton. Daerah keenam adalah kemandhungan selatan sebagai tempat berlatih memanah. Daerah terakhir adalah alun-alun selatan dan sasono hinggil. Alun-alun selatan digunakan sebagai tempat berkumpulnya tentara, sedangkan sasono hinggil diguanakan sebagai tempat untuk menampilkan wayang.
            Salah satu budaya yang dilaksanakan oleh penghuni kraton adalah Upacara Labuhan. Upacara ini dilaksanakan di Gunung Merapi yang dipercaya sebagai kraton makhluk halus dan Laut Selatan yang dipercaya sebagai kraton Nyi Roro Kidul. Upacara ini merupakan upacara persembahan yang dilaksanakan di tempat yang memiliki hubungan erat dengan leluhur sultan. Upacara ini hanya bisa dilaksanakan atas nama sultan dan hanya pada peristiwa-peristiwa penting, seperti saat memahkotai sultan baru atau memenuhi niat-niat tertentu dari sultan.
            Pada siang hari, kraton ditutup untuk pengunjung karena akan ada proses pembersihan kraton dari roh-roh jahat oleh wanita-wanita yang memakai baju tradisional. Wanita-wanita itu mempercikan air dan bunga pada tiang-tiang kraton.    

B.                Taman Sari
            Kami berjalan dari kraton melewati daerah pemukiman untuk menuju Taman Sari. Taman Sari dahulu merupakan tempat bagi sultan untuk bersantai. Selain itu, dahulu tempat ini juga merupakan tempat persembunyian, tempat bermeditasi, dan tempat pertahanan. Taman Sari juga dibangun oleh Pangeran Mangkubumi.
            Taman Sari dibagi menjadi empat daerah, tetapi hanya dua daerah yang masih menyisakan peninggalan. Daerah pertama dulunya merupakan sebuah danau buatan yang bernama Segaran. Danau tersebut sekarang sudah berubah menjadi pemukiman warga. Di danau tersebut juga terdapat pulau-pulau buatan dan bangunan-bangunan di atasnya. Hanya reruntuhan bangunan-bangunan tersebut yang tersisa karena dahulu, Taman Sari pernah terguncang gempa. Selain itu, ada juga sebuah terowongan bawah tanah. Terowongan ini dahulu diterangi oleh api biru, tetapi sekarang tidak sehingga keadaannya gelap. Di dalam terowongan ini, terdapat sebuah masjid bawah tanah.
            Daerah kedua adalah kompleks pemandian. Daerah ini paling banyak dikunjungi oleh wisatawan karena merupakan daerah yang paling terawat di Taman Sari. Terdapat dua pintu gerbang untuk memasuki daerah ini, yaitu pintu barat dan pintu timur. Dahulu, pintu barat merupakan pintu utamanya, tetapi sekarang pintu timur yang menjadi pintu utama. Setelah memasuki pintu utama, maka akan ada lapangan yang berbentuk segi delapan. Lapangan ini sering digunakan oleh sultan untuk beristirahat dan merokok. Lapangan ini mengarah ke kompleks pemandian di mana sultan, permaisurinya, selir-selirnya, dan putri-putrinya berendam. Di kompleks ini terdapat beberapa kolam. Kolam yang paling besar digunakan oleh selir-selir sultan untuk mandi. Sultan akan melempar bunga dari atas ke kolam tersebut, dan selir yang beruntung akan diajak mandi berdua di suatu kolam khusus. Selir-selir yang tidak beruntung kemudian akan mempercantik diri dan mewarnai kukunya dengan buah jeruk kecil yang ditanam di daerah itu. Selesai berfoto, kami berjalan kembali ke bus kami.

C.                Malioboro
            Setelah makan siang di restoran Pesta Perak, kami melanjutkan perjalanan kami ke Jalan Malioboro. Malioboro adalah pusat perbelanjaan utama di Kota Yogyakarta. Jalan Pangeran Mangkubumi dan Jalan Ahmad Yani juga merupakan bagian dari Jalan Malioboro ini.
            Kami diberi waktu bebas sekitar 3 jam. Saya dan beberapa teman saya berjalan bersama menyusuri jalan ini. Sangat banyak toko oleh-oleh di sini, tetapi barang-barang yang dijual hampir sama, seperti kipas, sandal, baju, dan gantungan kunci. Walaupun daerah ini bukan merupakan pusat oleh-oleh makanan, tetapi ada beberapa toko yang menjualnya. Oleh-oleh makanan yang dijual antara lain adalah bakpia pathok, geplak, dan dodol.]            Karena hari itu lumayan panas, kami memutuskan untuk masuk ke sebuah mal yang terletak di jalan ini, yaitu Malioboro Mall. Mal ini cukup kecil jika dibandingkan dengan mal-mal di Jakarta, tetapi fasilitas yang disediakan cukup lengkap. Di sini ada restoran-restoran, toko buku, arena bermain, dan toko serba ada. Selain itu, ada juga Dagadu. Dagadu dikenal sebagai merek yang berupa rancangan grafis pada cinderemata seperti kaos, gantungan kunci, stiker, dan lain-lain.         
D.                Candi Prambanan
            Waktu sudah menunjukan pukul 17.00, kami pun kembali ke bus. Kami lalu pergi ke Candi Prambanan. Dalam perjalanan, kami melewati sebuah bandara yang bernama Bandara Adi Sucipto. Bandara ini merupakan bandara paling sibuk keempat di Indonesia.
            Setelah sekitar 20 menit, sampailah kami di Candi Prambanan. Kami tidak masuk ke dalam daerah candinya karena sudah malam. Kami memang datang hanya untuk menonton sendratari Ramayana. Sebelum menonton, saya sempat berfoto dengan pemeran-pemeran dari sendratari ini. Setelah itu, kami memasuki sebuah ruangan terbuka untuk menonton sendratari ini.
            Sendratari ini tentunya menceritakan tentang kisah Ramayana. Kisah ini berasal dari cerita epos India. Inti dari cerita Ramayana adalah perjuangan Rama menyelamatkan istrinya, Sita, yang diculik oleh Rawana. Sendratari Ramayana diperankan oleh orang-orang berpakaian khas yang menari-nari, diiringi oleh musik gamelan dan sinden. Tidak ada dialog di dalam sendratari ini, tetapi tetap cukup menarik untuk ditonton karena tarian yang ditampilkan sangat sesuai dengan karakter yang diperankan. Sendratari ini berlangsung sekitar 2 jam.
            Kami sampai di hotel sekitar pukul 23.00. Kami menginap di Hotel Merapi Merbabu. Kami dibagikan kunci kamar masing-masing dan langsung menuju ke kamar. Karena merupakan hotel bintang empat, hotel ini cukup nyaman dan fasilitasnya cukup lengkap.

Hari Kelima
           Pada hari kelima, kami sarapan pagi di hotel. Makanan yang disediakan beragam seperti hotel pada umumnya. Kemudian, kami memasukkan koper kami ke dalam bus dan berangkat ke Gunung Merapi.
A.                Desa Kinahrejo
            Bus kami berhenti di sebuah tempat parkir. Dari tempat itu, kami berjalan menanjak menuju Desa Kinahrejo. Sekitar 30 menit kemudian, kami sampai. Desa Kinahrejo merupakan tempat tinggal Mbah Maridjan semasa hidupnya dan sekarang sudah tidak ditinggali lagi. Mbah Maridjan dulunya adalah juru kunci Gunung Merapi dan sekarang digantinkan oleh anaknya, Mas Asih. Kami diberi penjelasan oleh pemandu kami mengenai Gunung Merapi dan erupsinya yang terjadi pada tahun 2010.
            Gunung Merapi adalah salah satu gunung berapi teraktif di dunia. Gunung ini terletak di Kabupaten Sleman, Klaten, Boyolali, dan Magelang. Erupsi Merapi pada tahun 2010 menewaskan sekitar 300 orang, termasuk Mbah Maridjan. Mbah Maridjan ditemukan tewas dalam posisi bersujud. Peristiwa erupsi ini disertai dengan terjadinya awan panas.
            Rumah Mbah Maridjan di Desa Kinahrejo sudah diubah menjadi sebuah museum. Museum ini menampilkan barang-barang bekas terkena awan panas, antara lain peralatan gamelan dan sebuah mobil. Mobil tersebut adalah mobil yang digunakan oleh dua orang relawan saat mengevakuasi warga Desa Kinahrejo. Sayangnya, dua orang relawan itu juga ikut terkena awan panas sehingga nyawa mereka tidak dapat diselamatkan, tetapi jasa mereka akan selalu dikenang warga Desa Kinahrejo.
            Selesai melihat-lihat keadaan desa tersebut, kami kembali turun ke tempat parkir dan melanjutkan perjalanan kami ke Museum Gunung Merapi.      


B.                Museum Gunung Merapi 
            Museum ini terletak agak jauh dari tempat parkir tempat kami berangkat tadi. Bentuk museum ini cukup unik.  Di sini, kami juga ditemani oleh seorang pemandu. Begitu masuk, kami melihat miniatur dari Gunung Merapi. Jika ditekan suatu tombol, maka miniatur Gunung Merapi ini akan menampilkan simulasi mengenai erupsinya.
            Museum ini tidak hanya menampilkan hal-hal yang berhubungan dengan Gunung Merapi saja. Kami diajak berkeliling untuk melihat berbagai jenis gunung berapi yang ada di dunia dan jenis-jenis letusannya. Kami juga diperlihatkan bongkahan-bongkahan bekas erupsi Gunung Merapi. Pemandu tersebut juga bercerita kalau di erupsi Merapi pada tahun 2010, ada orang-orang yang tidak melarikan diri dari Gunung Merapi tetapi malah berlindung di dalam bunker bawah tanah. Pintu bunker tersebut terdorong oleh tanah dan akhirnya orang-orang yang berlindung tidak dapat keluar dari bunker tersebut dan meninggal.
            Setelah itu, kami diajak untuk memasuki sebuah ruangan teater. Kami menonton sebuah film tentang Gunung Merapi. Film ini menceritakan kehidupan warga yang tinggal di kaki Gunung Merapi. Saat aman, Merapi sangat memberi manfaat bagi mereka karena tanahnya yang subur sehingga mudah ditanami berbagai jenis sayur dan buah. Mereka sangat menghormati Gunung Merapi. Film ini juga menceritakan proses bagaimana aktivitas Gunung Merapi diamati. Pos pengamatan Merapi berada di Jalan Kaliurang, yang dekat dengan rumah penduduk.

C.                 Djava 
            Dari Gunung Merapi, kami pergi ke restoran Boyong Kalegan untuk makan siang, dan kemudian pergi ke toko Djava untuk membeli oleh-oleh makanan. Berbagai macam makanan dapat ditemukan di sini, seperti bakpia, keripik-keripik, dodol, dan lain-lain.
            Oleh-oleh utama dari Djava ini adalah bakpia. Bakpia memang sangat populer di Yogyakarta. Bakpia dari Yogyakarta diberi nama bakpia pathok karena dahulu berasal dari daerah Pathok, Yogyakarta. Bakpia pathok memiliki ciri khas kulit tipis dan isi banyak. Di toko ini, kami dapat melihat proses pengisian bakpia. Saya pun mencoba untuk mengisi bakpia. Pertama, pipihkan adonan bakpia menjadi lebar. Lalu, bentuklah lingkaran pada tangan kiri dengan menyatukan jari telunjuk dan jempol. Kemudian, letakan adonan bakpia di lingkaran tersebut sehingga menjorok ke dalam, baru masukkan isi bakpia dan rapatkan adonan tersebut. Bentuk adonan tersebut menjadi bulat dan kemudian gepengkan di bagian lipatan.    

            Selesai membeli oleh-oleh, kami kembali ke bus dan melaksanakan perjalanan pulang. Di bus, kami menonton film dari DVD yang dibawa oleh salah satu teman kami. Kami mengadakan perhentian di Gombong untuk makan malam di restoran Grafika. Lalu kami pun melanjutkan perjalan ke Jakarta. Kami sampai di sekolah pada pukul 06.00 keesokan harinya.

Kunjungan ke Institut Français d'Indonésie


                Pada hari Rabu, 12 November 2014, saya mengunjungi Kedutaan dan Institut Prancis yang terletak di Jalan M.H. Thamrin No. 20 bersama kedua orang tua saya. Gedung tersebut memiliki dua pintu masuk, yaitu pintu yang berada di depan jalan raya dan pintu yang berada di samping. Pada hari itu, orang tua saya telah membuat janji untuk bertemu dengan Ibu Edhita, perwakilan dari CampusFrance Indonesia. Ruangan Ibu Edhita terletak di dalam Institut Français d'Indonésie (IFI), sehingga saya harus masuk melewati pintu depan. Pintu samping adalah pintu masuk ke dalam kedutaan, sehingga tidak dapat dimasuki oleh orang yang  tidak berkepentingan. 


                Begitu masuk, terdapat sebuah tempat terbuka yang dapat digunakan untuk duduk-duduk. Suasana dari tempat tersebut masih terasa sangat baru dan ada bagian-bagian gedung yang masih berada dalam proses pembangunan. Saya melihat beberapa orang Prancis yang sedang duduk dan mengobrol. Lalu, saya masuk ke dalam gedung IFI dan memasuki ruangan Ibu Edhita yang terletak di sebelah kiri. Ibu Edhita menjelaskan kalau sistem pendidikan di Prancis sama dengan sistem pendidikan di seluruh Eropa. Yang membedakan adalah kuliah di universitas negri Prancis itu bebas biaya, kita hanya perlu membayar uang registrasi yang besarnya sekitar dua juta rupiah per tahun. Tetapi, bagi orang asing yang ingin berkuliah di Prancis, harus belajar bahasa Prancis setidaknya sampai tingkat B2, karena universitas negri Prancis menggunakan bahasa Prancis sebagai pengantarnya. Ibu Edhita juga menjelaskan tentang jurusan-jurusan yang dapat diambil di universitas Prancis, salah satunya perhotelan di Université d'Angers.
                Seusai bertanya-tanya, saya dan kedua orang tua saya menuju ke lantai dua untuk bertanya mengenai kursus bahasa Prancis. Kursus di IFI dibagi menjadi kelas super intensif, intensif, semi intensif, dan reguler. Terdapat tingkat A1.1, A1.2, A2.1, A2.2, B1.1, B1.2, B1.3, B2.1, B2.2, B2.3, dan B2.4 yang masing-masing tingkatnya dapat diselesaikan dalam waktu tiga bulan (jika mengikuti kelas reguler). Saya pun tertarik untuk mengikuti kursus ini, sehingga saya mendaftar di kelas reguler yang dimulai pada bulan Desember. Saya memilih jadwal hari Selasa dan Jumat pukul 15.00-17.00.
                Seusai mendaftar di kursus IFI, saya dan kedua orang tua saya pulang karena hari sudah sore. Saya belum sempat melihat-lihat detil dan fasilitas dari gedung ini, sehingga pada hari Sabtu, 15 November 2014, saya kembali mengunjungi IFI dengan kedua teman saya. Tidak seperti pertama kali saya datang ke IFI, saya tidak melihat ada orang Prancis. Tetapi di hari itu, IFI cukup ramai karena banyak murid kursus yang datang.
                Saya bersama kedua teman saya menuju ke lantai dua dan masuk ke perpustakaan yang berada di sebelah kiri tangga. Saat masuk ke dalam perpustakaan, terdapat sebuah meja yang dijaga oleh penjaga perpustakaan tersebut. Perpustakaan tersebut tertata dengan rapi dan memiliki suasana yang sangat tenang. Terdapat kursi-kursi dan meja-meja untuk membaca. Perpustakaan ini tidak hanya menyimpan koleksi buku, tetapi juga CD dan DVD musik dan film Prancis.
                Kami mengitari perpustakaan tersebut dan saya menemukan sebuah buku yang berjudul “Trois fêlés et un pendu”. Buku tersebut ditulis oleh Jean-Hugues Oppel dan diterbitkan oleh Syros pada tahun 2009. Sebenarnya, terdapat satu buah ruangan yang tersambung dengan perpustakaan ini, yaitu ruangan yang khusus menjajakan majalah, namun kami tidak memasuki ruangan majalah tersebut. Lalu, kami menghampiri bapak penjaga perpustakaan dan bertanya-tanya sedikit tentang IFI.
                Bapak penjaga perpustakaan menjelaskan fasilitas-fasilitas yang terdapat di IFI. Yang pertama adalah sinema. Sinema ini belum beroperasi, tetapi nantinya akan menayangkan film-film pendek dan juga akan diadakan festival-festival film Prancis.  Yang kedua adalah cafeteria, yang menjual makanan-minuman Prancis. Sinema dan cafeteria ini berada di lantai bawah.  Yang ketiga adalah perpustakaan ini sendiri. Perpustakaan ini memiliki koleksi 15,000 buku, CD, dan DVD. Untuk meminjam, kita perlu mendaftar menjadi anggota perpustakaan terlebih dahulu. Biayanya adalah tujuh puluh lima ribu per tahun dan persyaratannya mudah, yaitu dengan mengisi formulir dan memberikan fotokopi KTP. Bagi murid kursus di IFI, tidak perlu membayar biaya untuk menjadi anggota perpustakaan. Batas waktu untuk meminjam buku adalah 14 hari (max. 3 buah), sedangkan CD/DVD 7 hari (max. 1 buah). Meskipun terlihat terpisah, tetapi IFI tetap merupakan bagian dari kompleks kedutaan Prancis. Lama pembangunan gedung baru ini kira-kira enam bulan.

                Seusai bertanya-tanya, kami ingin melihat cafeteria yang tadi disebutkan sehingga kami menuju lantai bawah. Ternyata, cafeteria tersebut juga masih belum beroperasi. Saya merasa bahwa IFI memiliki suasana yang menyenangkan dan tidak sabar menunggu sinema dan cafeteria di IFI untuk beroperasi.

                Note: Sekarang, Le Café telah dibuka. Makanan yang disediakan antara lain kue dan roti-rotian. Dijual juga makanan berat seperti pasta dan pizza. Harganya dapat dikatakan cukup mahal. Khusus murid IFI mendapatkan diskon 20% untuk setiap pembelian. Yang paling saya suka di cafe ini adalah eclair krim(45k) dan macaron(15k)-nya, terutama caramel macaron-nya (yang warna hitam) benar-benar bikin ketagihan ><